Kesahihan Kisah Tabarruk Imam Syafie dengan Imam Abu Hanifah
Oleh: Shofiyyah An Nuuriyyah
Tabarruk dan tawassul dalam ajaran Ahlus sunnah wal jama’ah diperbolehkan dan bahkan dianjurkan, sama ada tabarruk dan tawassul dengan Asma Allah yang Maha Indah, Dengan amalan dan doa atau pun dengan melalui Nabi atau orang shalih yang sudah wafat. Dalil-dalil dengan begitu jelas dan terang telah melegalkannya sama ada dalam al-Quran, sunnah maupun pendapat dan perbuatan para ulama salaf, tabi’in, tabi’t tabi’in dan orang-orang yang mengikuti ajaran dan manhaj mereka. Ada banyak dalil dari perbuatan para ulama salaf tentang tabarruk dan tawassul, di antaranya kisah yang masyhur yaitu rabarruk imam asy-Syafi’i dengan imam Abu Hanifah. Tapi sayangnya ada pihak anti tabarruk dan tawassul ini yang berusaha melemahkan riwayatnya. Kali ini saya akan membantah secara ilmiyyah sebagian dari bantahan mereka yang sudah banyak tersebar di internet.
Berikut riwayatnya :
Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahulah meriwayatkan :
أخبرنا القاضي أبو عبد الله الحسين بن علي بن محمد الصيمري قال أنبأنا عمر بن إبراهيم المقرئ قال نبأنا مكرم بن أحمد قال نبأنا عمر بن إسحاق بن إبراهيم قال نبأنا علي بن ميمون قال سمعت الشافعي يقول اني لأتبرك بأبي حنيفة وأجيء إلى قبره في كل يوم يعني زائرا فإذا عرضت لي حاجة صليت ركعتين وجئت إلى قبره وسألت الله تعالى الحاجة عنده فما تبعد عني حتى تقضى
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Qaadliy Abu ‘Abdillah Al-Husain bin ‘Aliy bin Muhammad Ash-Shiimariy, ia berkata : Telah memberitakan kepada kamu ‘Umar bin Ibraahiim Al-Muqri’, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Mukarram bin Ahmad, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ‘Umar bin Ishaaq bin Ibraahiim, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ‘Aliy bin Maimuun, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : “Sesungguhnya aku akan ber-tabarruk dengan Abu Haniifah. Aku akan datang ke kuburnya setiap hari – yaitu untuk berziarah – . Apabila aku mempunyai satu hajat, aku pun shalat dua raka’at lalu datang ke kuburnya untuk berdoa kepada Allahta’ala tentang hajat tersebut di sisinya. Maka tidak lama setelah itu, hajatku pun terpenuhi” [Taariikh Baghdaad 1/123].
Kisah ini juga disebutkan dalam kitab Manqib Abu Hanifah juz 2 halmana 199, juga disebutkan dalam kitab al-Khairat al-Hisaan, Ibnu Hajar al-Haitsami dalam konteks berhujjah pada halaman 69.
Abul Jauza mengatakan :
Kisah ini seringkali dibawakan untuk melegalkan amalan tabarruk kepada orang yang telah meninggal. Namun kisah ini tidak shahih. Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah berkata :
فهذه رواية ضعيفة بل باطلة فإن عمر بن إسحاق بن إبراهيم غير معروف وليس له ذكر في شيء من كتب الرجال , و يحتمل أن يكون هو عمرو – بفتح العين – بن إسحاق بن إبراهيم بن حميد بن السكن أبو محمد التونسى و قد ترجمه الخطيب ( 12 / 226 ) . و ذكر أنه بخاري قدم بغداد حاجا سنة ( 341 ) و لم يذكر فيه جرحا و لا تعديلا فهو مجهول الحال , و يبعد أن يكون هو هذا إذ أن وفاة شيخه علي بن ميمون سنة ( 247 ) على أكثر الأقوال , فبين وفاتيهما نحو مائة سنة فيبعد أن يكون قد أدركه .
“Ini adalah riwayat yang lemah, bahkan baathil. ‘Umar bin Ishaaq bin Ibraahiim tidak dikenal, dan tidak disebutkan satupun dalam kitab-kitab rijaal. Kemungkinan ia adalah ‘Amr – dengan fathah pada huruf ‘ain – bin Ishaaq bin Ibraahiim bin Humaid bin As-Sakan Abu Muhammad At-Tuunisiy. Al-Khathiib telah menyebutkan biografinya (dalam At-Taariikh12/226). Disebutkan bahwa ia orang Bukhara yang tiba di Baghdad pada perjalanan hajinya tahun 341 H. Tidak disebutkan padanya jarh maupun ta’dil, sehingga ia seorang yang berstatus majhuul haal. Namun kemungkinan ini jauh saat diketahui gurunya yang bernama ‘Aliy bin Maimuun wafat pada tahun 247 H menurut mayoritas pendapat. Maka diperoleh penjelasan kematian keduanya berjarak sekitar 100 tahun sehingga jauh kemungkinan ia bertemu dengannya (‘Aliy bin Maimuun)” [Silsilah Ad-Dla’iifah, 1/78].
Saya jawab :
Kisah di atas jauh dari tuduhan bathil, karena kisah bathil itu adalah kisah di mana rawinya bersatus sangat lemah seperti tertuduh berdusta.
Memang dalam tarajim tidak ditemukan tarjamah yang bernama Umar bin Ishaq bin Ibrahim, dan hanya ditemukan perowi yang bernama ‘Amr bin bin Ishaq bin Ibrahim. Maka kemungkinanannya adalah ‘Amr bin Ishaq bin Ibrahim. Sebagaimana disebutkan oleh Albani bahwa Ali bin Maimun wafat tahun 247 H dan Amr bin Ishaq dating ke Baghdad pada tahun 341, maka ada kemungkinan Amr mendengar langsung dari Ali bin Maimun, karena sama-sama satu zaman dan satu masa. Persyaratam isttishal sanad memang diperselisihkan di kalangan ulama. Menurut Imam al-Bukhari, harus ada bukti pernah bertemu antara dua perawi walaupun satu kali. Sementara menurut Imam Muslim, (dan beliau menganggapnya sebagai ijma’ ulama), mencukupkan dengan mungkinnya terjadinya pertemuan antara dua perawi, yaitu hidup dalam satu masa, walaupun tidak ada bukti. Dengan demikian, menurut Imam Muslim, dan mayoritas ulama, kisah di atas jelas shahih.”
Dan tuduhan Albani melemahkan ‘Amr bin Ishaq bin Ibrahim karena Tidak disebutkan padanya jarh maupun ta’dil, sehingga ia seorang yang berstatus majhuul haal. Tapi saya menemukan justru imam al-Hakim menilai ahih hadits yang beliau riwayatkan dari jalam ‘Aamr bin Ishaq bin Ibrahim As-Sakan al-Bukhari. Ini membuktikan tautsiq beliau secara eksplisit, karena telah ma’ruf dalam kaidah hadits bawasanya pentashihan seorang ulama hadits merupakan cabang daripentautsiqan. Berikut hadits yang dinlai sahih oleh imam al-Hakim yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Ishaq as-Sakna al-Bukhari :
حدثنا عمرو بن إسحاق بن إبراهيم السكنى البخاري بنيسابور ثنا أبو علي صالح بن محمد بن حبيب الحافظ ثنا محمد بن عمر بن الوليد الفحام ثنا يحيى بن آدم عن ابن المبارك قال سمعت إبراهيم بن طهمان وتلا قول الله عز وجل الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم فقال حدثني المكتب عن عبد الله بن بريدة عن عمران ابن حصين انه كان به البو أسير فأمره النبي صلى الله عليه وآله ان يصلى على جنب هذا حديث صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه
“ Telah menceritakan pada kami ‘Amr bin Ishaq bin Ibrahim as-Skna al-Bukhari di Naisabur, telah menceritakan pada kami Abu Ali bin Shalih bin Muhamamd bin Habib al-Hafidz, telah menceritakan pada kami Muhammad bin Umar bin al-Walid al-Fahham, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam dari Ibnul Mubarak, ia bekata…..dan seterunsya…”[1]
beliau juga menyebutkan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Ishaq bin Ibrahim itu sahih sesuai syarat imam Bukhari dan Muslim. Ini merupakan salah satu indikasi pentaustiqan imam al-Hakim kepada ‘Amr bin Ishaq bin Ibrahim.
Abul jauza mengatakan :
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وهذا كذلك معلوم كذبه بالاضطرار عند من له معرفة بالنقل، فإن الشافعي لما قدم بغداد لم يكن ببغداد قبر ينتاب للدعاء عنده البتة، بل ولم يكن هذا على عهد الشافعي معروفا، وقد رأى الشافعي بالحجاز واليمن والشام والعراق ومصر من قبور الأنبياء والصحابة والتابعين، من كان أصحابها عنده وعند المسلمين، أفضل من أبي حنيفة، وأمثاله من العلماء. فما باله لم يتوخ الدعاء إلا عنده. ثم أصحاب أبي حنيفة الذين أدركوه، مثل أبي يوسف ومحمد وزفر والحسن بن زياد وطبقتهم، لم يكونوا يتحرون الدعاء، لا عند قبر أبي حنيفة ولا غيره.
“Dan hal ini demikian juga telah diketahui sebagai kebohongan secara pasti yang dilakukan oleh orang yang mengetahui seluk-beluk penukilan, karena Asy-Syafi’iy saat tiba di Baghdad, tidak ada di kota tersebut kuburan yang dijadikan tempat khusus untuk berdoa. Bahkan ini tidak terjadi di masa Asy-Syafi’iy. Asy-Syafi’iy telah melihat kuburan para Nabi, para shahabat, dan tabi’in di Hijaaz, Yaman, Syaam, dan ‘Iraq, yang mereka itu menurutnya (Asy-Syafi’iy) dan kaum muslimin semuanya lebih utama dibandingkan Abu Hanifah dan yang semisalnya dari kalangan ulama. Lantas, bagaimana mungkin ia hanya menyengaja berdoa di sisi Abu Haniifah saja ? Kemudian para shahabat Abu Haniifah yang bertemu (semasa) dengannya seperti Abu Yusuf, Muhammad (bin Al-Hasan), Zufar, Al-Hasan bin Ziyaad, dan yang setingkat dengan mereka tidaklah bermaksud berdoa di sisi kubur Abu Haniifah ataupun yang lainnya” [Iqtidlaa’ Ash-Shiraathil-Mustaqiim, 2/206].
Saya jawab :
Pertama : Pernyataan Ibnu Taimiyyah keliru (salah), karena terbukti bahwa banyak sekali kuburan-kuburan yang dijadikan tempat bedoa dan bertawassul serta tabarruk di sisinya sama ada sebelum imam Syafi’i datang ke Baghdad atau setelahnya. Di antaranya kuburan Ma’ruf al-Khurkhi. Ibnu Khalkan mengatakan :
وأهل بغداد يستسقون بقبره ويقولون قبر معروف ترياق مجرب. وقبره مشهور يزار
“ Penduduk Baghdad (bertawassul) dengan istisqa melalui kuburannya dan mengatakan, “ Kubur Ma’ruf adalah obat yang mujarrab “, dan kuburannya masyhur (terkenal) banyak diziarahi “[2]
Dan Ma’ruf al-Khurkhi wafat pada tahun 200 Hijriyyah.
Imam Khathib al-Baghdadi meriwayatkan :
حدثنا أبو عبد الله محمد بن علي بن عبد الله الصوري قال سمعت أبا الحسين محمد بن أحمد بن جميع يقول سمعت أبا عبد الله بن المحاملي يقول: أعرف قبر معروف الكرخي منذ سبعين سنة ما قصده مهموم الا فرج الله همه
“ Telah menceritakan pada kami Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Abdullah ash-Shuri, ie berkata, “ Aku telah mendengar Abul Husain Muhammad bin Ahmad bin Jami’ berkata, “ Aku mendengar Abu Abdillah bin al-Muhamili berkata, “ Aku mengetahui kuburan Ma’ruf al-Khurkhi sejak 70 tahun, tidaklah sesorang yang suah datang menujunya kecuali Allah akan lapangkan kesusahannya “.[3]
Abu Abdillah bin al-Muhamili ini lahir di Baghdad pada tahun 235 H dan wafat pada tahun 330 H.
Seorang ulama salaf bernama Ibrahim al-Harbi (Lahir 198 H) di mana imam Ahmad bin Hanbal pernah memondokkan putranya pada beliau, seorang Hafidz, Faqih dan Mujtahid pernah berkata :
قبر معروفٍ الترياق المجرب
“ Kuburan Ma’ruf al-Kurkhi adalah obat yang mujarrab “,
Al-Khatib al-Baghdadi mengomentarinya : “ Tiryaq adalah obat yang diracik dari berbagai bahan yang dikenal di kalangan para tabib masa lalu karena banyaknya manfaatnya, dan banyak macamnya. Al-Harbi menyerupakan makam Ma’ruf al-Kurkhi dengan obat di dalam banyaknya manfaat, maka seolah-olah al-Harbi berkata : “ Wahai manusia, datanglah ke kuburan Ma’ruf al-Kurkhi dengan bertabarruk karena banyak manfaat yang akan diperoleh “.(Tarikh Baghdad : 1/122)
Al-Khatib al-Baghdadi menyebutkan :
باب ما ذكر في مقابر بغداد المخصوصة بالعلماء والزهاد بالجانب الغربي في أعلا المدينة مقابر قريش دفن بها موسى بن جعفر بن محمد بن علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب وجماعة من الأفاضل معه أخبرنا القاضي أبو محمد الحسن بن الحسين بن محمد بن رامين الإستراباذي قال أنبأنا أحمد بن جعفر بن حمدان القطيعي قال سمعت الحسن بن إبراهيم أبا علي الخلال يقول ما همني أمر فقصدت قبر موسى بن جعفر فتوسلت به الا سهل الله تعالى لي ما أحب
“ Bab apa yang disebutkan tentang kuburan-kuburan di Baghdad terkhususkan para ulama , ahli zuhud di sebelah barat daya di pusat kota, terdapat kuburan kuburan Quraisy. Dimakamkan di sana Musa bin Jakfar bin Muhamamd bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib dan sekelompok dari orang-orang yang utama bersamanya. Telah mengabarkan pada kami al-Qadhi Abu Muhamamd al-hasan bin al-Husain bin Muhammad bin Ramin al-Istirabadzi, ia berkata telah mengabarkan pada kami Ahmad bin Jakfar bin Hamdan al-Qathi’i, ia berkata aku telah mendengat al-Hasan bin Ibrahim Abu Ali al-Khallal berkata, “ tidaklah aku mendapat kesusahan atas suatu urusan, lalu aku datang menuju kuburan Musa bin Jakfar kemudian aku bertawassul dengannya, kecuali Allah akan memudahkannya bagiku apa yang aku suaki “[4]
Sayyid Musa bin Jakfar ini lahir pada tahun 128 Hijriyyah dan beliau wafat pada tahun 183 Hijriyyah di Baghdad. Bahkan imam asy-Syafi’i sendiri mengatakan :
قبر موسى الكاظم الترياق المجرب
“ Kuburan Musa al-Kadzhim adalah obat yang mujarrab “[5]
Maka pernyataan Ibnu Taimiyyah bertentangan dengan fakta sebenarnya.
Abul Jauza mengatakan :
Terkait dengan bahasan ini, Ibnul-Qayyim rahimahullah memberikan penjelasan yang cukup bagus :
فلو كان الدعاء عند القبور، والصلاة عندها، والتبرك بها فضيلة أو سنة أو مباحا، لفعل ذلك المهاجرين والأصار، وسنّوا ذلك لمن بعدهم، ولكن كانوا أعلم بالله ورسوله ودينه من الخلوف التي خلفت بعدهم، وكذلك التابعون لهم بإحسان راحوا على هذه السبيل، وقد كان عندهم من قبور أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم بالأمصار عدد كثير، وهم متوافرون، فما منهم من استغاث عند قبر صاحب، ولا دعاه، ولا دعا به، ولا دعا عنده، ولا استشقى به، ولا استسقى به، ولا استنصر به، ومن المعلوم أن مثل هذا مما تتوفّر الهمم على نقله، بل على نقل ما دونه.
“Seandainya berdoa di sisi kuburan, shalat di sisinya, dan mencari berkah dengannya adalah suatu keutamaan atau sesuatu yang disunnahkan atau diperbolehkan; tentunya hal itu pernah dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Anshar, dan mencontohkannya kepada generasi setelah mereka. Akan tetapi mereka adalah orang yang lebih mengetahui tentang Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya daripada orang-orang yang datang belakangan setelah mereka. Seperti itulah, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (tabi’in) menempuh jalan ini, padahal di sekitar mereka banyak terdapat makam para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berada di berbagai negeri dan jumlah mereka (tabi’in) pun cukup banyak. Namun, tidak ada seorang pun yang meminta pertolongan (istighatsah) di sisi makam seorang shahabat, tidak juga berdoa kepadanya, berdoa dengan perantaraannya, berdoa di sisiya, meminta kesembuhan, meminta hujan, dan meminta pertolongan dengannya. Sebagaimana diketahui bahwa hal seperti ini termasuk sesuatu yang memiliki perhatian penuh untuk diriwayatkan, bahkan meriwayatkan hal yang lebih rendah daripada itu” [Ighaatsatul-Lahfaan, 1/204 dengan sedikit perubahan – dinukil melalui perantaraan At-Tabarruk, Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu oleh Dr. Naashir Al-Judai’, hal. 405].
Saya Jawab :
Pernyataan Ibnul Qayyim pun terlalu terburu-buru, karena tidak sedikit para ulama terdahulu yang berdoa di sisi makam para shalihin. Adz-Dzhabi menukil pernyataan sebagai berikut :
قال ابن خلكان: وكان بكار بن قتيبة تاليا للقرآن، بكاء صالحا دينا، وقبره مشهور قد عرف باستجابة الدعاء عنده
“ Ibnu Khalkan berkata, “ Bakar bin Qutaibah suka membaca al-Quran, banyak menangis, shalih dan agamis, Makamnya sudah masyhur. Dan dikenal dengan terkabulnya doa di dekat makamnya “[6]
Adz-Dzahabi juga mengatakan :
ابن زيرك العلامة، شيخ همذان وقبره يزار، ويتبرك به
“Ibnu Zairak, orang yang sangat alim, Syaikh di Hamdzan. Makamnya diziarahi dan dicari berkahnya”[7]
Adz-Dzahabi juga mengatakan :
أبو الفرج الحنبلي الامام القدوة شيخ الاسلام، أبو الفرج عبد الواحد بن محمد قلت: توفي في ذي الحجة سنة ست وثمانين وأربع مئة، ودفن بمقبرة باب الصغير، وقبره مشهور يزار، ويدعى عنده
“Abu al-Faraj Abdul Wahid bin Muhammad, al-Hanbali yang menjadi imam, panutam dan guru umat Islam. Saya berkata: Ia meninggal pada tahun 486 H, dimakamkan di ‘Pintu Kecil’. Makamnya diziarahi dan dijadikan tempat berdoa di dekatnya”[8]
Adz-Dzhabi juga mengatakan :
وابن لآل الإمام أبو بكر أحمد بن علي بن أحمد الهمذاني . قال شيرويه : كان ثقة أوحد زمانه مفتي همذان له مصنفات في علوم الحديث غير انه كان مشهورا بالفقه. عاش تسعين سنة والدعاء عند قبره مستجاب
“Ibnu La’al, seorang imam. Abu Bakar Ahmad bin Ali bi Ahmad al-Hamdzani. Syairawaih berkata: Ia terpercaya, orang alim tunggal di masanya. Mufti Hamdzan. Ia memiliki banyak karya di bidang hadis. Ia juga masyhur dengan ilmu fikih. Ia hidup 90 tahun. Berdoa di kuburnya adalah mustajab”[9]
Adz-Dzahabi juga mengatakan :
صالح بن احمد ابن محمد الحافظ الكثير الصدق المعمر أبو الفضل التميمي الهمذانى ذكره شيرويه في تاريخه فقال: كان ركنا من اركان الحديث ثقة حافظا دينا لا يخاف في الله لومة لائم، وله مصنفات غزيرة، توفى في شعبان سنة اربع وثمانين وثلاث مائة. والدعاء عند قبره مستجاب
“Shaleh bin Ahmad bin Muhammad, al-Hafidz, yang banyak jujurnya, Abu al-Fadlal at-Tamimi al-Hamdzani. Syairawaih menyebutkan dalam Tarikhnya bahwa Ia termasuk ahli hadis, terpercaya, hafidz, dan agamis. Ia tidak takut celaan orang lain dalam agama Allah. Ia punya banyak karya kitab. Meninggal pada 384 H. Berdoa di kuburnya adalah mustajab”[10]
Adz-Dzahabi juga mengatakan :
علي بن حُميد بن علي بن محمد بن حُميد بن خالد. أبو الحسن الذُّهلي، إمام جامع همذان ورُكن السنة بها. وتوفي في ثاني عشر جمادى الأولى، وقبره يزار ويُتبرك به
“Ali bin Humaid bin Ali bin Muhammad bin Humaid bin Khalid, Abu Hasan ad-Dahli, Imam di masjid Jami’ Hamdzan dan penopang sunah disana. Wafat pada 12 Jumada al-Ula. Makamnya diziarahi dan dicari berkahnya”[11]
Ibnu Hibban bercerita :
وَقَبْرُهُ بِسَنَا بَاذٍ خَارِجَ النَّوْقَانِ مَشْهُوْرٌ يُزَارُ بِجَنْبِ قَبْرِ الرَّشِيْدِ قَدْ زُرْتُهُ مِرَارًا كَثِيْرَةً وَمَا حَلَّتْ بِي شِدَّةٌ فِي وَقْتِ مَقَامِي بِطُوْسٍ فَزُرْتُ قَبْرَ عَلِى بْنِ مُوْسَى الرِّضَا صَلَوَاتُ اللهِ عَلَى جَدِّهِ وَعَلَيْهِ وَدَعَوْتُ اللهَ إِزَالَتَهَا عَنَىَّ إلاَّ اسْتُجِيْبَ لِي وَزَالَتْ عَنِّى تِلْكَ الشِّدَّةُ وَهَذَا شَئٌ جَرَّبْتُهُ مِرَارًا فَوَجَدْتُهُ كَذَلِكَ أَمَاتَنَا اللهُ عَلَى مَحَبَّةِ الْمُصْطَفَى وَأَهْلِ بَيْتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِمْ أجْمَعِيْنَ
“Makam Ali bin Musa di Sanabadz sebelah luar Nauqan sudah masyhur dan diziarahi di dekat makam ar-Rasyid. Saya sudah sering berkali-kali. Saya tidak mengalami kesulitan ketika saya berada di Thus kemudian saya berziarah ke makam Ali bin Musa, semoga Salawat dari Allah dihaturkan kepada kakeknya (Nabi Muhammad) dan saya berdoa kepada Allah untuk menghilangkan kesulitan tersebut, kecuali dikabulkan untuk saya dan kesulitan itu pun lenyap dari saya. Ini saya alami berkali-kali, dan saya temukan seperti itu. Semoga Allah mematikan kita untuk cinta kepada Nabi dan keluarganya Saw”[12]
Ibnul Jauzi al-Hanbali mengatakan :
أحمد القزويني كان من الأولياء المحدثين، توفي في رمضان هذه السنة فشهده أمم لا تحصى، وقبره ظاهر يتبرك به في الطريق إلى معروف الكرخي
“Ahmad al-Quzwaini adalah sebagian dari wali yang ahli hadis. Meninggal di bulan Ramadlan, disaksikan oleh umat yang tak terhingga. Makamnya tampak nyata dan dicari berkahnya, di jalan menuju makam Ma’ruf al-Karakhi”[13]
Imam Asy-Syakhawi mengatakan :
عبد الملك بن عبد الحق بن هاشم الحربي المغربي كان صالحاً معتقداً يذكر أن أصله من الينبوع وأنه شريف حسني وقد ولي بمكة مشيخة رباط السيد حسن بن عجلان ومات بها في ليلة السبت ثامن شعبان سنة خمس وأربعين وبنى على رأس قبره نصب بل حوط نعشه وهو مما يزار ويتبرك به
“Abdul Malik bin Abdulhaq orang yang shaleh dan memiliki keyakinan. Ia berasal dari Yanbu’ dan ia adalah syarif dari keturunan Hasan, ia meninggal di Makkah pada tahun 40 H. Makamnya dibangun disisi kepada dan dikelilingi bangunan. ia termasuk yang diziarahi dan dicari berkahnya”[14]
Imam Ibnu al-Jazari mengatakan :
وَقَبْرُهُ (عَبْدُ اللهِ بْنِ الْمُبَارَكِ) بِهَيْتٍ مَعْرُوْفٌ يُزَارُ زُرْتُهُ وَتَبَرِّكْتُ بِهِ
“Makam Abdullah bin Mubarak di Hait sudah dikenal dan diziarahi. Saya menziarahinya dan saya bertabarruk dengannya ”[15]
Beliau juga mengatakan :
وَدُفِنَ (قَاسِمُ بْنُ فَيْرَهْ) بِالْقَرَافَةِ بَيْنَ مِصْرَ وَالْقَاهِرَةِ بِمَقْبَرَةِ الْقَاضِي الْفَاضِلِ عَبْدِ الرَّحِيْمِ الْبَيْسَانِي وَقَبْرُهُ مَشْهُوْرٌ مَعْرُوْفٌ يُقصَدُ لِلزِّيَارَةِ وَقَدْ زُرْتُهُ مَرَّاتٍ وَعَرَضَ عَلَيَّ بَعْضُ أَصْحَابِي الشَّاطِبِيَّةِ عِنْدَ قَبْرِهِ وَرَأَيْتُ بَرَكَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ قَبْرِهِ بِالإجَابَةِ رَحِمَهُ اللهُ وَرَضِيَ عَنْهُ
“Qasim bin Fairah dimakamkan di Qarafah, antara Mesir dan Kairo di makam Qadli al-Fadlil Abdurrahim al-Baisani. Makamnya menjadi tujuan ziarah dan saya sudah berziarah berkali-kali. Sebagian pengikut Syatibiyah memperlihatkan kepada saya di dekat makamnya dan saya melihat berkah doa di makam itu terkabul”[16]
Dan masih banyak sekali fakta-fakta makam-makam para wali Allah dan shalihin yang makamnya banyak diziarahi dan banyak para ulama sama ada ulama terdaulu ataupun belakangan yang berdoa di sisi makamnya dan bahkan bertabarruk dengannya. Maka pernyataan Ibnul Qayim di atas tidak bisa dipegang karena bertentangan (bercanggah) dengan fakta-fakta nyatanya.
Dan kami masih punya segudang dalil selain dalil kisah tabarruk imam Syafi’i tersebut yang melagalkan tawassul dan tabarruk dengan orang-orang shalih yang sudah wafat.
Shofiyyah an-Nuuriyyah
Kota Santri, 15/02/2014
http://www.aswj-rg.com/2014/02/kesahihan-kisah-tabarruk-imam-syafie-dengan-imam-abu-hanifah.html
________________
[1] Al-Mustadrak, al-Hakim : 2/299-300
[2]Tarikh Ibnu Khalkan : 2/224
[3] Tarikh Baghdad : 1/135
[4] Tarikh Baghdad : 1/120
[5] Tuhfah al-Alim : 2/22
[6] Siyar A’lam an-Nubala : 12/603
[7] Siyar A’lam an-Nubala : 18/433
[8] Siyar A’lam an-Nubala : 19/51
[9] al-Ibar, adz-Dzahabi : 175
[10] Tadzkirah al-Huffadz : 3/985
[11] Tarikh al-Islam : 7/182
[12] ats-Tsiqat, Ibnu Hibban : 8/457
[13] al-Muntadzam : 5/73
[14] adl-Dlau’ al-Lami’ : 2/470
[15] Ghayat an-Nihayah fi Thabaqat al-Qurra’ : 1/198
[16] Ghayat an-Nihayah fi Thabaqat al-Qurra’ : 1/1285
0 Response to "Kesahihan Kisah Tabarruk Imam Syafie dengan Imam Abu Hanifah"
إرسال تعليق