Shahih Bukhari dan Shahih Muslim Jadi Dhaif?
Saling kritik dan koreksi merupakan dua hal yang wajar dalam dunia keilmuan. Kita sebagai muslim pun diperintahkan untuk senantiasa kritis dalam menyikapi sesuatu, tidak langsung menelan mentah-mentah berita yang sampai kepada kita, melainkan mengecek terlebih dahulu kebenaran berita itu. Hal itu bermula ketika Al-Quran memerintahkan kita untuk mengklarifikasi (tabayyun) setiap berita yang disampaikan oleh seorang fasik (QS.49:6). Dari situlah akhirnya muncul ilmu jarh wa ta’dil yang merupakan pondasi utama syariat Islam sekaligus benteng penjaga orisinilitas ajaran ini dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Namun sayangnya, kadang-kadang budaya saling mengkritik itu kerap kelewatan dan melampaui batas. Bukan semata-mata kritikannya yang dipermasalahkan, melainkan konsep dan metode dalam mengkritik itu yang seringkali sangat dangkal dan tidak objektif sehingga alih-alih memberikan hasil positif yang menggembirakan, justru melahirkan keganjilan-keganjilan yang belum pernah ditemui dalam sejarah, terutama dalam masalah hadis.
Di antara fenomena menyedihkan itu adalah banyaknya peneliti hadis kontemporer yang hanya mengandalkan buku-buku Mustholah Hadis yang baru muncul di zaman belakangan dalam menilai hadis-hadis Nabi SAW tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang jauh lebih penting, yaitu meneliti kembali konsep dan metode yang digunakan oleh para ahli hadis mutaqaddimin yang kadangkala –atau bahkan sering- tidak sejalan dengan konsep mutaakhirin. Fenomena ini telah mendorong beberapa peneliti hadis lain untuk mengusulkan perumusan ulang metode ulama ahli hadis klasik dalam kritik hadis yang saat ini mulai terdistorsi akibat dominasi buku-buku Mustholah Hadis yang merujuk kepada ulama-ulama mutaakhirin dan kontemporer.
Salah buku yang mengupas masalah ini adalah buku karangan Dr. Hamzah Al Malyabari berjudul “Nazhorotun Jadidatun fi Ulumil Hadits” (Perspektif Baru Tentang Ilmu Hadis), “Al Muwazanah Bainal Mutaqaddimin wal Mutaakhirin fi Tashihil Ahadits wa Ta’liliha” (Membandingkan Metode Mutaqaddimin dan Mutaakhirin Dalam Pengesahan dan Pelemahan Hadis), “Al Hadits Al Ma’lul Qawa’id wa Dhawabithuha” (Hadis Cacat: Konsep dan Pengertiannya), dan lain-lain.
Dalam salah satu tulisannya, Dr. Hamzah berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa ilmu hadis akan menjadi bertambah rumit ketika istilah-istilah dan definisi-definisi di dalamnya dijadikan fokus pembahasan dan perhatian dalam pemaparan dan analisa oleh kebanyakan penulis, tanpa menyentuh persoalan-persoalan substansial di dalamnya serta makna-maknanya yang saling berhubungan dan terkait satu sama lain sehingga membuat sesuatu yang bersatu menjadi terpisah, yang terpisah menjadi bersatu, yang mutlak dibatasi dan yang terbatas dimutlakkan." (Al Hadits Al Ma’lul hal. 2)
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
Kita tentu mengenal dua kitab ini. Para ulama mengatakan bahwa keduanya adalah kitab paling shahih setelah Al Quran[1]. Hal itu disebabkan kedua penulis kitab itu hanya memasukkan di dalamnya hadis-hadis shahih saja, setidaknya menurut penilaian mereka berdua. Di samping itu, mereka berdualah orang pertama yang berhasil melakukan tugas mulia itu sehingga keutamaan itu patut mereka peroleh. Imam Bukhari berkata, “Aku tidak memasukkan dalam kitabku Ash Shahih ini kecuali yang shahih dan aku meninggalkan hadis-hadis shahih lainnya karena khawatir kepanjangan.”[2] Imam Muslim juga mengatakan, “Tidak semua hadis yang shahih –menurutku- aku masukkan di sini (yaitu kitabnya Ash Shahih). Aku hanya memasukkan di sini hadis-hadis yang disepakati keshahihannya saja.”[3]
Namun pengakuan kedua maestro di bidang hadis itu tidak lantas membuat para ahli hadis, baik yang sezaman maupun setelahnya, berhenti memeriksa keshahihan setiap hadis yang ada di dalamnya. Hal itu terbukti dengan munculnya beberapa kritikan yang dilontarkan oleh beberapa pakar hadis yang juga tidak diragukan keilmuannya, yaitu Imam Ad Daraquthni dalam kitabnya Al Ilzamat wat Tatabbu’ dan lain-lain. Hal itu berlanjut dengan munculnya kitab-kitab lain yang berisi jawaban terhadap kritikan-kritikan itu. Begitulah seterusnya, budaya mengkritik dan dikritik menjadi ciri khas dunia keilmuan.
Namun yang patut menjadi catatan adalah metode yang digunakan dalam mengkritik. Siapapun diperbolehkan mengkritisi pendapat orang lain selama menguasai bidang keilmuan terkait dan menggunakan metode yang benar sehingga tidak melahirkan kekeliruan baru.
Di antara bentuk kekeliruan itu adalah melemahkan suatu hadis hanya karena melihat adanya cacat pada sanadnya, ditambah lagi kurangnya penelitian yang menyeluruh terhadap kitab-kitab hadis yang ada, sehingga yang lahir kemudian adalah kesimpulan tergesa-gesa dan prematur.
Misalnya, ada hadis yang berbunyi, “Jika salah seorang di antara kalian mengantuk di masjid pada hari Jumat, maka hendaklah ia berpindah ke tempat lain.”
Para ulama terdahulu telah menshahihkan hadis itu. Imam Tirmidzi berkata: "Hadis hasan shahih." Hakim berkata: "Shahih sesuai standar Imam Muslim." Disepakati oleh Dzahabi. Namun sebagian peneliti hadis kontemporer yang kurang cermat dalam penelitian justru melemahkannya. Ia mengatakan, “Ibnu Ishaq adalah seorang mudallis dan telah meriwayatkan dengan lafal 'an (dari) di semua jalur darinya.”
Secara sepintas memang tampak ada cacat dalam sanad hadis itu, yaitu an-anah Ibnu Ishaq. Dalam ilmu Mustholah Hadis, jika seorang mudallis meriwayatkan dengan lafal ‘an (dari) maka ketersambungan sanadnya diragukan. Menurut sang peneliti tersebut, hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, seorang mudallis, dengan lafal ‘an di semua jalurnya sehingga diduga ada kemungkinan terputus (inqitha’) sebagaimana dikaidahkan dalam ilmu Mustholah Hadits.
Padahal, jika ia mau meneliti lebih jauh lagi, ia akan menemukan pernyataan Ibnu Ishaq tentang “tahdits” itu secara terus terang di Musnad Imam Ahmad no. 6187. Inilah alasan para imam besar itu menshahihkan hadis tersebut, dan ini pulalah salah satu contoh kecerobohan peneliti kontemporer dalam menilai hadis. Bayangkan jika hal semacam ini terjadi secara berulang-ulang. Anda dapat membayangkan dampaknya terhadap syariat Islam.
Ada lagi hadis lain yang dikritik karena perawinya lemah, yaitu hadis yang berbunyi, “Sesungguhnya termasuk di antara manusia paling buruk derajatnya di sisi Allah pada hari kiamat yaitu seseorang yang mendatangi istrinya dan istrinya mendatanginya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim)
Kendati hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim, tapi salah seorang peneliti kontemporer berani menyalahkannya hanya karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Umar bin Hamzah Al Umari yang dinilai lemah oleh para ulama jarh wa ta’dil.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah benarkah jika perawi dinilai lemah lantas menjadikan hadis yang dibawanya dilemahkan semuanya tanpa diteliti terlebih dahulu mana yang terbukti benar dan mana yang terbukti salah? Seolah-olah kita dipahamkan bahwa perawi lemah selalu salah dan tidak pernah benar sama sekali. Itu jika kita berasumsi bahwa perawi tersebut benar-benar dhaif. Padahal, dalam kenyataannya tidak semua ulama pakar jarh wa ta’dil menganggapnya dhaif. Ibnu Hibban misalnya, memasukkan Umar bin Hamzah ke dalam jajaran perawi terpercaya (tsiqot) dalam kitabnya Ats Tsiqot. Al Hakim juga meriwayatkan hadis-hadis dari Umar bin Hamzah dalam Mustadraknya lalu berkata, “Hadis-hadisnya lurus.” Ibnu ‘Adi berkata, “Dia (Umar bin Hamzah) termasuk orang yang hadisnya layak ditulis.” Imam Bukhari menjadikan Umar bin Hamzah sebagai rijalnya dalam Mu’allaqat Shahihnya. Imam Muslim bahkan menjadikannya sebagai rijal hadis utama (sebagaimana hadis yang sedang kita bahas).
Jika para ulama mutaqaddimin yang menjadi panutan ummat telah mengambil sikap seperti itu, maka mengapa orang-orang di zaman ini yang tidak mengerti ilmu hadis ikut-ikutan mendhaifkan hadis Umar bin Hamzah hanya karena ia didhaifkan oleh sebagian ulama? Padahal dalam kajian Mustholah Hadis sendiri disebutkan bahwa jika berkumpul antara jarh dan ta’dil pada diri seorang perawi maka ta’dil lebih didahulukan kecuali jika jarh itu terperinci (disebutkan sebab-sebabnya) maka ia lebih didahulukan, bukan jarh global tanpa sebab. Karena pada asalnya seorang muslim itu ‘adil (jujur), tidak boleh menuduhnya dengan selain itu kecuali disertai bukti-bukti.
Adakalanya seorang ulama menganggap perawi lemah karena penyebab yang sebenarnya tidak menjadikanya lemah. Misalnya, Syu’bah (ulama yang terkenal keras dalam men-jarh) meninggalkan hadis Minhal bin Amr hanya karena beliau mendengar suara alat musik keluar dari dalam rumahnya. Padahal, belum tentu Minhal mengetahuinya, dan Syu’bah pun belum bertanya terlebih dahulu dari mana asal suara itu.
Hakam bin Utbah juga pernah ditanya mengapa ia tidak meriwayatkan dari Zadzan, beliau menjawab, “Karena dia banyak bicara.” Muslim bin Ibrahim meninggalkan hadis Shalih Al Murri hanya karena Hammad bin Salamah pernah meludah ketika disebutkan nama Shalih. Muslim berkata, “Apa yang hendak kalian perbuat dari Shalih? Orang-orang pernah menyebut namanya di depan Hammad bin Salamah lalu beliau meludah.”
Nah, dari beberapa contoh tadi terdapat kesan bahwa tidak semua jarh diterima begitu saja melainkan jika diterangkan penyebabnya. Adakalanya jarh itu tidak bertumpu pada sesuatu yang bersifat objektif. Memang kehatian-hatian sangat diperlukan, namun sikap berlebihan dan over-protektif juga tidak dibenarkan. Yang benar adalah sikap tengah-tengah. Imam Nasai bahkan meriwayatkan hadis-hadis dari perawi yang tidak disepakati kelemahannya. Artinya, jika ada perawi yang masih dipersilihkan antara diterima atau ditolak, maka Imam Nasai tetap meriwayatkannya. Jika disepakati kelemahannya oleh seluruh ulama, maka beliau meniggalkannya.
Dalam hal ini, metode mutaqaddimin objektif serta tidak hanya bertumpu pada penilaian terhadap personal secara global semata. Tidak semua perawi lemah lantas hadisnya ditolak. Hal itu disebabkan kelemahan yang terdapat pada perawi bermacam-macam, diantaranya disebabkan oleh kelemahan hafalan atau kurangnya akurasi dalam dokumentasi tanpa menyangkut masalah kejujuran dan kesalehannya, ini adalah kebanyakan yang terjadi pada perawi lemah. Namun ada pula yang disebabkan oleh faktor-faktor agamis, misalnya karena perawi diduga seorang pembohong karena adanya indikasi-indikasi yang menunjukkan arah sana, inilah perawi yang hadisnya harus ditinggalkan. Tentu saja kedua kriteria tersebut tidak dapat disamakan begitu saja.[4]
Imam Bukhari misalnya, sengaja meriwayatkan dari beberapa gurunya yang dinilai lemah oleh ulama lain. Namun hal itu tidak lantas mencederai hadis-hadis yang diriwayatkannya. Beliau telah menyeleksi riwayat-riwayat yang terbukti shahih di antara riwayat-riwayat yang ternyata diduga keliru. Di samping itu, murid adalah orang yang paling tahu tentang gurunya. Kritikan ulama lain terhadap personal perawi tertentu tidak lantas menjadikan apa yang diriwayatkannya ditolak. Semuanya harus ditimbang secara adil.
Begitu juga Imam Muslim, meskipun standar beliau lebih rendah dibandingkan standar Imam Bukhari dalam menilai hadis, namun beliau termasuk salah seorang pakar hadis yang paling ketat dalam menyeleksi hadis. Namun demikian kita tetap menjumpai beberapa perawi lemah yang masih disebutkan dalam kitabnya. Sulit diterima jika dikatakan bahwa Imam Muslim teledor dalam meriwayatkan hadis itu. Ketelitian dan kekuatan hafalan beliau telah diakui dan dibuktikan oleh para pakar hadis baik yang sezaman maupun setelahnya. Memang manusia tidak ada yang ma’shum kecuali para nabi, namun sifat tidak ma’shum tidak bertentangan dengan sifat ketelitian yang dimiliki oleh para ahli hadis terdahulu dan jarang dimiliki oleh orang di zaman sekarang.
Demikianlah, dalam setiap perbedaan dalam penilaian hadis kita selalu mendapati pihak mutaqaddimin selalu unggul dalam masalah ketelitian. Salah seorang pakar hadits dari Indonesia, Ustadz Umar M. Noor, MA dalam salah satu artikelnya menulis, “Ilmu mushthalah hadits idealnya adalah sebuah ilmu yang menjelaskan metode ahli hadits sebagaimana yang ditampilkan oleh ulama mutaqaddimin dalam praktek ilmiah mereka mengkaji dan menilai riwayat. Oleh karena itu, sikap yang harus ditampilkan oleh generasi pasca riwayah adalah belajar dari ahli hadits masa riwayah dengan memahami dengan benar dan mendalam setiap perkataan dan metode mereka, bukan menghakimi dan menentang, apalagi menyalahkan. Anehnya, sebagian besar tokoh-tokoh kontemporer yang sering kita jumpai menentang ulama-ulama hadits mutaqaddimin itu adalah para aktivis yang sangat giat mengajak kembali ke mazhab salaf. Siapakah salaf yang dimaksud jika bukan ulama-ulama mutaqaddimin itu? Sebesar apapun upaya yang dikerahkan ulama mutaakhirin, apalagi kontemporer, untuk menilai sebuah riwayat tidak akan menyamai ketelitian metode yang diterapkan oleh ahli hadits mutaqaddimin.” [5]
Semoga tulisan ini tidak dinilai bermaksud memojokkan individu atau kelompok tertentu, melainkan sebagai bentuk saling menasehati dalam kebenaran dan kebaikan. Semua kesalahan berasal dari penulis pribadi dan kebenaran hanyalah dari Allah SWT. Wallahu a’lamu bish showab.
___________
[1] Ulumul Hadits (Mukaddimah) karangan Abu ‘Amr Ibnu Al Sholah hal. 18, tahqiq Syaikh Nuruddin Itr, terbitan Darul Fikr, Damaskus.
[2] Ibid hal. 19.
[3] Ibid hal. 20. Sebagian orang menafsirkan perkataan Imam Muslim tersebut dengan disepakati oleh empat imam, yaitu Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Utsman bin Abi Syaibah dan Sa’id bin Mashur Al Khurasani (Lihat: Tadrib Al Rawi karangan Imam As Suyuthi juz 1 hal 97, tahqiq Dr. Badi’ Sayyid Lahham, terbitan Dar Al Kalim Ath Thayyib, Damaskus, cetakan pertama, 2005 M.).
[4] Jika anda ingin menelaah lebih jauh tentang kriteria hadis cacat serta bentuk-bentuknya, anda dapat membacanya dalam kitab Al Hadits Al Ma’lul karangan Dr. Hamzah yang telah saya sebutkan di atas.
0 Response to "Shahih Bukhari dan Shahih Muslim Jadi Dhaif?"
إرسال تعليق