Hadits tentang Bid'ah


Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru, karena setiap bid’ah itu sesat.”

Hadis ini menjadi peringatan bagi manusia agar tidak mengikuti perkara-perkara baru yang tidak dikenal dalam Islam. Hal itu dipertegas dengan sabda beliau bahwa “setiap bid’ah itu sesat”. Yang dimaksud bid’ah adalah setiap perkara baru yang tidak memiliki sumber dari ajaran Islam. Adapun perkara baru yang memiliki sumber dari Islam maka tidak disebut bid’ah secara istilah, meskipun disebut bid’ah secara bahasa. Oleh karena itu, barangsiapa yang membuat-buat perkara baru yang tidak ada asalnya dari Islam lalu melekatkannya pada ajaran Islam maka itulah yang disebut kesesatan yang nyata, baik berkaitan dengan masalah keyakinan (akidah), perbuatan maupun ucapan, yang nyata maupun tersembunyi.

Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa sebagian salaf menganggap baik perbuatan bid’ah, maka yang dimaksud bid’ah di sini adalah bid’ah dari segi bahasa, bukan secara istilah. Misalnya Umar bin Khattab yang menganggap bahwa shalat tarawih berjamaah di masjid dengan satu imam itu bid’ah terbaik, maka yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa, yaitu perkara baru saja, bukan secara istilah yaitu perkara baru yang dibuat-buat dan tidak memiliki asal dari ajaran Islam, karena shalat tarawih memiliki asal dari ajaran Islam. Rasulullah SAW pernah melakukan shalat tarawih beberapa malam di bulan Ramadan kemudian menghentikannya karena khawatir akan diwajibkan atas umatnya. Adapun yang dilakukan oleh Umar hanyalah mengumpulkan para jamaah di masjid dalam satu imam agar lebih teratur. Ketika Ubay bin Kaab menegur Umar sambil mengatakan, “Ini belum pernah ada.” Umar menjawab, “Ya, aku tahu itu, tapi ini baik.” Makudnya adalah perbuatan semacam itu belum pernah dilakukan di zaman Nabi SAW dengan bentuk seperti yang diusulkan Umar. Namun demikian, perbuatan itu memiliki asal atau sumber dari Rasulullah SAW yaitu perbuatan beliau sendiri bersama sebagian sahabat yang sempat berjamaah di belakang beliau. Kemudian beliau menghentikan shalat itu karena khawatir akan diwajibkan sehingga umatnya tidak mampu melaksanakannya. Adapun setelah beliau wafat, kekhawatiran itu sudah tidak terjadi lagi. Di samping itu, beliau juga memerintahkan umat Islam agar mengikuti apa yang disunnahkan oleh Khulafa Rasyidin sehingga perbuatan ini tidak lagi disebut bid’ah secara istilah.

Contoh kedua adalah dua azan sebelum shalat Jumat yang dipelopori oleh Utsman bin Affan di masa kepemimpinannya, kemudian berlanjut setelah itu dan menjadi sunnah yang diamalkan oleh umat Islam hingga saat ini. Ada riwayat dari Ibnu Umar bahwa ia pernah mengatakan, “Itu bid’ah.” Mungkin yang dimaksud adalah sebagaimana yang dikatakan oleh ayahnya sebelumnya tentang shalat tarawih.

Contoh lain adalah pengumpulan mushaf dalam satu buku. Semula Abu Bakar ragu menerima usulan Umar untuk mengumpulkan mushaf dalam satu buku. Namun melihat maslahat besar di balik usulan itu, terutama setelah terjadi perang Yamamah yang menelan banyak korban dari para penghafal Quran (huffazh), akhirnya Abu Bakar menerimanya. Begitu pun Zaid bin Tsabit, semula ia ragu menerima usulan Abu Bakar dan Umar sambil mengatakan kepada mereka berdua, “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Nabi SAW? Demi Allah, seandainya kalian menyuruhku memindahkan sebuah gunung, itu lebih aku sukai daripada melakukan apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW.” Kemudian ia menyadari bahwa rencana itu mengandung maslahat besar bagi umat Islam, lalu ia pun menyetujui usulan itu, karena dahulu Rasulullah SAW telah memerintahkan para juru tulis wahyu untuk menulis Al Quran. Maka, apa bedanya menulis dalam lembaran yang terpisah-pisah dengan menulisnya dalam satu buku? Bahkan mengumpulkannya dalam satu buku lebih bermanfaat dan mempermudah penggunanya.

Keputusan Utsman bin Affan untuk menyatukan mushaf dan membakar lembaran-lembaran yang tidak sesuai dengan mushaf itu demi menjaga persatuan umat Islam juga menjadi contoh bahwa tidak semua perkara baru itu tercela dan bid’ah. Hal itu disetujui oleh Ali bin Abi Thalib dan mayoritas sahabat pada masa itu.

Begitu juga peperangan yang dipelopori oleh Abu Bakar dalam rangka memberantas para penolak zakat di zamannya. Semula Umar dan beberapa sahabat lainnya menolak usulan itu, sampai akhirnya Abu Bakar menjelaskan alasannya mengapa ingin melakukan hal itu, bahkan berjanji akan melakukannya seorang diri seandainya tak satu pun yang mendukungnya, akhirnya para sahabat pun menyetujuinya.

Begitu juga majelis kisah yang dahulu dianggap bid’ah oleh Ghadid bin Al Harits, oleh Al Hasan Al Bashri justru dianggap sebagai ni’mat al bid’ah (bid’ah paling baik), karena yang dianggap bid’ah oleh mereka sesungguhnya adalah acara perkumpulan di suatu tempat tertentu dalam waktu tertentu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Adapun menyampaikan kisah dalam majelis, hal itu sering dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam khutbah-khutbah beliau, baik khutbah Jumat maupun hari raya. Hanya saja beliau tidak menjadikan waktu khusus untuk mengadakan majelis kisah. Beliau menceritakan kisah tertentu hanya kadang-kadang saja atau ketika terjadi peristiwa tertentu yang mengharuskan beliau mengingatkan umatnya tentang kisah itu. Kemudian para sahabat menjadikan waktu tertentu untuk mengadakan majelis kisah sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud setiap hari Kamis.

Dalam Shahih Bukhari, Ibnu Abbas pernah berkata, “Berceritalah setiap pekan satu kali, dua kali atau paling banyak tiga kali. Jangan sampai membuat mereka bosan.” Dalam Musnad Ahmad disebutkan bahwa Aisyah pernah berpesan kepada para penyampai kisah untuk melakukan hal serupa. Dalam sebuah riwayat, Aisyah berpesan kepada Said bin Umair, “Ceritakanlah manusia sehari dan tinggalkan mereka sehari.” Dalam riwayat lain, Umar bin Abdul Aziz berpesan kepada para penyampai kisah agar menyampaikan kisah setiap tiga hari sekali.

Jadi, tidak semua perbuatan baru bisa dikatakan bid’ah secara istilah menurut hadis di atas. Yang dinamakan bid’ah dalam hadis di atas adalah setiap perkara baru yang tidak memiliki asal dari ajaran Islam serta menyelisihi sunnah. Hadis tersebut termasuk dalam kategori nash umum yang dikhususkan (‘am mukhoshosh).

Imam Syafii pernah berkata, “Bid’ah itu ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Yang sesuai sunnah adalah terpuji dan yang menyelisihi sunnah adalah tercela.” Lalu ia berhujjah dengan perkataan Umar, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Terdapat beberapa riwayat dari Imam Syafii yang serupa dengan riwayat di atas. Intinya, beliau membedakan antara perkara baru yang memiliki asal (sumber) dari ajaran Islam dengan perkara baru yang tidak memiliki asal sama sekali.

Ada beberapa perkara baru yang belum pernah terjadi sebelumnya sehingga membuat para ulama berselisih apakah ia termasuk kategori bid’ah hasanah sehingga bisa digolongkan sunnah atau tidak. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Penulisan sunnah, dahulu dilarang keras oleh Umar dan beberapa sahabat, namun mayoritas sahabat lainnya memperbolehkannya dan berhujjah dengan hadis-hadis dari sunnah.

Begitu juga penulisan tafsir hadits dan tafsir Quran, sebagian ulama memakruhkannya, namun mayoritas ulama memperbolehkannya.

Begitu juga penulisan fikih beserta khilafnya.

Begitu juga pembicaraan mengenai hubungan antar manusia dan amalan-amalan hati yang belum pernah diriwayatkan dari para sahabat atau tabiin. Imam Ahmad tidak menyukai pembahasan mengenai hal itu terlalu banyak.

Namun di zaman ini, di mana semakin jauh jarak antara zaman kenabian dan keemasan, maka menjadi kewajiban menulis setiap apa yang datang dari para ulama Islam, agar dapat dibedakan mana yang memiliki asal dan mana yang tidak, sehingga dapat diketahui mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.

Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Pada hari ini kalian hidup di atas fitrah. Kelak akan terjadi perkara baru di hadapan kalian. Jika kalian melihat perkara-perkara baru itu, maka kembalilah kepada posisi awal ini.” Beliau mengatakan itu pada zaman Khulafa Rasyidin.

Imam Malik juga pernah berkata, “Hawa ini belum pernah terjadi di zaman Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman.” Hawa yang dimaksud adalah perpecahan dalam masalah agama seperti Khawarij, Rawafidh, Murji’ah dan perkara-perkara semisal terkait masalah takfir kaum muslimin, penghalalan darah dan harta mereka, pengekalan mereka di neraka, tuduhan fasik terhadap orang-orang shalih dari umat ini, atau sebaliknya menganggap bahwa kemaksiatan tidak membahayakan pelakunya dan sebagainya.

Dari semua keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya bid’ah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW dalam hadis di atas adalah setiap perkara baru yang tidak memiliki asal dari ajaran Islam dan diklaim termasuk ajaran Islam. Bid’ah semacam inilah yang sesat. Adapun perkara-perkara baru yang ada asalnya dari Islam meskipun dalam bentuk yang tidak sama persis, maka tidak dapat dikatakan sebagai bid’ah secara syar’i, meskipun secara bahasa disebut bid’ah. Wallahu a’lam.

4 Responses to "Hadits tentang Bid'ah"

  1. berarti anda menyebut bahwa bid'ah hasanah itu tidak boleh disebut bid'ah karena itu hanya definisi bid'ah menurut bahasa?

    ردحذف
    الردود
    1. Bid'ah hasanah apabila ditinjau dari segi bahasa berarti perkara baru yang baik. Namun apabila ditinjau dari segi syariat ia bukanlah bid'ah, karena yang dimaksud bid'ah secara syariat adalah bid'ah sayyi'ah. Jadi, pengertian bid'ah menurut syariat lebih khusus daripada pengertiannya menurut bahasa. Wallahu a'lam.

      حذف
  2. ini adminnya memang gak mudeng kata kata "MAKNA KATA "KULLU" PADA KALIMAT KULLU BID'ATIN DHALALAH"

    maklumlah ORANG AJAM.. MEMANG SUKA SERAMPANGAN..ADMIN MENULIS.. Imam Syafii pernah berkata, “Bid’ah itu ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Yang sesuai sunnah adalah terpuji dan yang menyelisihi sunnah adalah tercela.” MINTA SUMBERNYA DONK..

    ردحذف
    الردود
    1. Ini sumbernya: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=3801110642422&set=o.260134364005398&type=3&theater

      حذف

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel