Kupas Tuntas Masalah Tawassul


Banyak kita dapati orang bertanya-tanya tentang masalah tawassul. Masalah ini sebenarnya sudah dibahas secara tuntas oleh para ulama sejak dahulu dan diabadikan dalam kitab-kitab mereka. Namun sayangnya, di zaman ini banyak orang jahil berfatwa di sana-sini tanpa ilmu, bahkan tak sedikit yang mengkafirkan sesama muslim secara massal karena permasalahan yang sebenarnya tidak sampai level takfir. Lalu bagaimana sebenarnya?

Tulisan ini berusaha memaparkan penjelasan secara ringkas beserta dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah beserta nukilan-nukilan perkataan para ulama Ahlussunnah tentang masalah tawassul demi menyingkap kabut yang selama ini menyelimuti akal sebagian orang.

Apa itu tawassul?

Tawassul secara bahasa artinya mendekat (taqarrub) atau menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk mendekatkan diri ke sebuah tujuan tertentu. Secara istilah, tawassul berarti menjadikan sesuatu sebagai perantara menuju Allah SWT untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Perantara itu disebut wasilah. (lihat: Lisanul 'Arab, Asasul Balaghoh dan Tartib Qamus Al Muhith: wa-sa-la)

Firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 35)

Tawassul juga bisa bermakna mendekatkan diri kepada Allah dengan perantara doa dari orang lain, misalnya kita mengatakan kepada seseorang, "Mohon doakan saya." Berarti kita sedang bertawassul kepada Allah dengan doa orang itu.

Tawassul juga bisa bermakna berdoa kepada Allah secara langsung dengan menyertakan wasilah dalam doa. Wasilah itu bisa berupa hal-hal berikut ini:

1.       Amal shalih, seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain. Misalnya kita mengatakan, "Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan shalat, puasa dan haji yang aku lakukan, berikanlah aku kesembuhan."
2.       Nama-nama Allah yang indah (asmaul husna) dan sifat-sifatNya yang tinggi (shifatul ulya), misalnya, "Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan nama-namaMu yang mulia dan indah dan dengan sifat-sifatMu yang agung dan tinggi, berikanlah kami hujan."
3.       Nama-nama para nabi dan orang-orang shalih terdahulu misalnya, "Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan nabi-nabiMu yang Engkau muliakan dan orang-orang shalih yang Engkau cintai serta wali-waliMu yang Engkau istimewakan, berikanlah kami keselamatan."
4.       Arsy (kerajaan) Allah, misalnya, "Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan keagungan ArsyMu, berikanlah kami rezeki."

Mengapa harus bertawassul dan apa hukumnya?

Perlu diketahui bahwa bertawassul tidaklah wajib. Seandainya seseorang ingin berdoa kepada Allah secara langsung tanpa menjadikan sesuatu apapun sebagai perantara, maka hal itu tak mengapa. Namun, sebagai makhluk yang penuh dengan dosa dan kemaksiatan, kita membutuhkan perantara yang dapat mengantarkan kita kepada tujuan kita, Allah SWT. Perantara itu bisa berupa amal shalih atau doa orang shalih yang masih hidup, sehingga kita sering meminta doa dari orang-orang yang kita anggap shalih dengan harapan agar Allah berkenan mengabulkan doanya. Bukan karena kita tidak percaya diri dengan doa kita, tapi untuk lebih menguatkan doa itu agar lebih mudah diijabah oleh Allah. Hal ini lumrah dilakukan oleh setiap muslim.

Dalam ayat yang kita sebutkan di atas, Allah SWT memerintahkan kita untuk mencari perantara agar dapat mempermudah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Ibnu Taimiah menganggap bertawassul dengan keimanan dan amal shalih sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim, baik ketika Rasulullah SAW masih hidup maupun setelah beliau wafat, karena menurutnya, seseorang tak dapat selamat dari api neraka kecuali dengan keimanan dan amal shalih. Oleh karena itu, bertawassul dengan kedua hal itu adalah wajib hukumnya. (Qa'idah Jalilah hal. 5, Mausu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah)

Dalam Al Quran, Allah juga memuji hamba-hambaNya yang bertawassul kepadaNya.

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

"Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan) kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti." (QS. Al Israa': 57)

Sejak zaman Nabi SAW hingga berabad-abad setelahnya, umat Islam terbiasa dengan amalan yang dinamakan tawassul tersebut tanpa ada pengingkaran dari seorang pun. Mereka terbiasa mencari-cari wasilah (perantara) yang dianggap dapat mengantarkan doa mereka kepada Allah, misalnya dengan mendatangi orang shalih yang masih hidup untuk dimintai doa, atau yang sudah mati untuk mengambil berkah kuburannya, atau bisa juga menyertakan nama-nama orang shalih dalam doa mereka, misalnya, "Ya Allah, dengan kemuliaan Fulan, kabulkanlah doa kami."

Dalil Tawassul

Berikut ini dalil-dalil mengenai disyariatkannya tawassul.


Tawassul Dengan Nama Allah (Asmaul Husna)

Allah berfirman, "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (QS Al A'raaf: 180)

Dalam ayat ini terdapat perintah untuk bertawassul dengan asmaul husna.

Dalam hadis riwayat Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengajarkan doa berikut ini:

يا حى يا قيوم برحمتك أستغيث

"Wahai Tuhan Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), dengan rahmatMu aku memohon pertolongan." (HR. Tirmidzi, Nasai, Ibnus Sunni, Hakim, Baihaqi dalam Syuabul Iman dan Dhiya'. Lihat: Al Jami' Al Kabir)

Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah:

أسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك أو أنزلته فى كتابك أو علمته أحدًا من خلقك أو استأثرت به فى علم الغيب عندك

"(Ya Allah), aku memohon kepadaMu dengan setiap nama yang Engkau miliki, yang dengannya Engkau namai diriMu sendiri, atau yang Engkau turunkan di dalam kitabMu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hambaMu, atau yang Engkau istimewakan dalam ilmu ghaib milikMu." (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Hakim dari Ibnu Mas'ud. Lihat: Al Jami' Al Kabir)

Dalam hadis riwayat Imran bin Hushain ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

من قرأ القرآن فليسأل الله به فإنه سيأتى أقوام يقرءون القرآن ويسألون به الناس

"Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta kepada manusia dengan Al Quran itu." (HR. Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Baihaqi dalam Syuabul Iman. Lihat: Al Jami' Al Kabir)

Tawassul Dengan Amal Shalih

Para ulama telah bersepakat (ijma') bahwa tawassul dengan amal shalih diperbolehkan. Bahkan para ahli tafsir telah menafsirkan kata "al-wasilah" dalam QS Al Maidah 35 dan Al Israa': 57 dengan amal shalih.

Dalam surat Al Fatihah ayat 5 dan 6 disebutkan amal shalih terlebih dahulu sebelum disebutkan doa:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus,"

Ayat itu memberi isyarat bahwa sebelum berdoa sebaiknya seseorang beramal shalih telebih dahulu.

Serupa dengan ayat itu ada ayat-ayat berikut ini:

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(Yaitu) orang-orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka," (QS. Ali Imran: 16)

فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ

Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)".

Dalam hadis riwayat Buraidah bahwa Rasulullah SAW pernah mendengar seorang lelaki berdoa:

اللهم إنى أسألك بأنك أنت الله لا إله إلا أنت الأحد الصمد الذى لم يلد ولم يولد ولم يكن لك كفوا أحد

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dengan (kesaksian) bahwa Engkau adalah Allah, tiada tuhan selain Engkau, Tuhan Yang Tunggal dan segala sesuatu bergantung kepadaNya, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tak ada satu pun yang setara denganNya."

Lalu Rasulullah SAW bersabda:

لقد سألت الله باسمه الأعظم الذى إذا سئل به أعطى وإذا دعى به أجاب

"Sungguh kau telah memohon kepada Allah dengan perantara namaNya yang paling agung, yang jika Dia diminta dengan nama itu Dia pasti memberi, dan jika dipanggil dengan nama itu Dia pasti menjawab."(HR. Abu Daud, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban)

Dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar tentang tiga orang yang terjebak dalam gua juga disebutkan tawassul dengan amal shalih. Hadis itu diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

Rasulullah SAW bersabda: Ketika tiga orang pemuda sedang berjalan, tiba-tiba turunlah hujan lalu mereka pun berlindung di dalam sebuah gua yang terdapat di perut gunung. Sekonyong-konyong jatuhlah sebuah batu besar dari atas gunung menutupi mulut gua yang akhirnya mengurung mereka. Kemudian sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain: Ingatlah amal saleh yang pernah kamu lakukan untuk Allah, lalu mohonlah kepada Allah dengan amal tersebut agar Allah berkenan menggeser batu besar itu. Salah seorang dari mereka berdoa: Ya Allah, sesungguhnya dahulu aku mempunyai kedua orang tua yang telah lanjut usia, seorang istri dan beberapa orang anak yang masih kecil di mana akulah yang memelihara mereka. Setelah aku mengandangkan hewan-hewan ternakku, aku segera memerah susunya dan memulai dengan kedua orang tuaku terdahulu untuk aku minumkan sebelum anak-anakku. Suatu hari aku terlalu jauh mencari kayu (bakar) sehingga tidak dapat kembali kecuali pada sore hari di saat aku menemui kedua orang tuaku sudah lelap tertidur. Aku pun segera memerah susu seperti biasa lalu membawa susu perahan tersebut. Aku berdiri di dekat kepala kedua orang tuaku karena tidak ingin membangunkan keduanya dari tidur namun aku pun tidak ingin meminumkan anak-anakku sebelum mereka berdua padahal mereka menjerit-jerit kelaparan di bawah telapak kakiku. Dan begitulah keadaanku bersama mereka sampai terbit fajar. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mengharap keridaan-Mu, maka bukalah sedikit celahan untuk kami agar kami dapat melihat langit. Lalu Allah menciptakan sebuah celahan sehingga mereka dapat melihat langit. Yang lainnya kemudian berdoa: Ya Allah, sesungguhnya dahulu aku pernah mempunyai saudara seorang puteri paman yang sangat aku cintai, seperti cintanya seorang lelaki terhadap seorang wanita. Aku memohon kepadanya untuk menyerahkan dirinya tetapi ia menolak kecuali kalau aku memberikannya seratus dinar. Aku pun bersusah payah sampai berhasillah aku mengumpulkan seratus dinar yang segera aku berikan kepadanya. Ketika aku telah berada di antara kedua kakinya (selangkangan) ia berkata: Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan janganlah kamu merenggut keperawanan kecuali dengan pernikahan yang sah terlebih dahulu. Seketika itu aku pun beranjak meninggalkannya. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mencari keridaan-Mu, maka ciptakanlah sebuah celahan lagi untuk kami. Kemudian Allah pun membuat sebuah celahan lagi untuk mereka. Yang lainnya berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku pernah mempekerjakan seorang pekerja dengan upah enam belas ritel beras (padi). Ketika ia sudah merampungkan pekerjaannya, ia berkata: Berikanlah upahku! Lalu aku pun menyerahkan upahnya yang sebesar enam belas ritel beras namun ia menolaknya. Kemudian aku terus menanami padinya itu sehingga aku dapat mengumpulkan beberapa ekor sapi berikut penggembalanya dari hasil padinya itu. Satu hari dia datang lagi kepadaku dan berkata: Takutlah kepada Allah dan janganlah kamu menzalimi hakku! Aku pun menjawab: Hampirilah sapi-sapi itu berikut penggembalanya lalu ambillah semuanya! Dia berkata: Takutlah kepada Allah dan janganlah kamu mengolok-olokku! Aku pun berkata lagi kepadanya: Sesungguhnya aku tidak mengolok-olokmu, ambillah sapi-sapi itu berikut penggembalanya! Lalu ia pun mengambilnya dan dibawa pergi. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mengharap keridaan-Mu, maka bukakanlah untuk kami sedikit celahan lagi yang tersisa. Akhirnya Allah membukakan celahan yang tersisa itu.

Tawassul Dengan Nabi SAW

Tawassul dengan Nabi SAW bisa bermakna seseorang memohon kepada Nabi SAW agar mendoakan dirinya, atau bisa juga berdoa kepada Allah dengan menyertakan nama beliau dalam doa. Adapun yang pertama, yaitu memohon doa dari Nabi SAW, hal itu sering dilakukan oleh para sahabat ketika beliau masih hidup. Hal itu disinggung dalam Al Quran:

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisaa': 64)

Dalam sunnah pun hal itu sering disinggung. Dalam hadis Utsman bin Hunaif disebutkan bahwa seorang buta memohon kepada Nabi agar mendoakan dirinya supaya diberi kesembuhan. Lalu beliau menyuruhnya berwudhu lalu berdoa dengan doa sebagai berikut:

اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبى الرحمة يا محمد إنى توجهت بك إلى ربى فى حاجتى هذه لتقضى لى اللهم فشفعه فى

"Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu dan aku menghadapkan wajahku kepadaMu dengan perantaraan NabiMu Muhammad, Nabiyyur Rahmah. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadapkan wajahku dengan perantaraanmu kepada Tuhanku tentang hajatku ini agar Dia memenuhinya. Ya Allah, maka jadikanlah ia pemberi syafaatku." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)

Hadis riwayat Anas bin Malik:

Bahwa seorang sahabat memasuki mesjid pada hari Jumat dari pintu searah dengan Darulqada. Pada waktu itu Rasulullah saw. sedang berdiri berkhutbah. Sahabat tersebut menghadap Rasulullah saw. sambil berdiri, lalu berkata: Ya Rasulullah, harta benda telah musnah dan mata penghidupan terputus, berdoalah kepada Allah, agar Dia berkenan menurunkan hujan. Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya dan berdoa: "Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami". Kata Anas: Demi Allah, di langit kami tidak melihat mendung atau gumpalan awan. Antara kami dan gunung tidak ada rumah atau perkampungan (yang dapat menghalangi pandangan kami untuk melihat tanda-tanda hujan). Tiba-tiba dari balik gunung muncul mendung bagaikan perisai. Ketika berada di tengah langit mendung itu menyebar lalu menurunkan hujan. Demi Allah, kami tidak melihat matahari sedikit pun pada hari Jumat berikutnya. Kemudian kata Anas lagi: Pada Jumat berikutnya seseorang datang dari pintu yang telah di sebut di atas ketika Rasulullah saw. sedang berkhutbah. Orang itu menghadap beliau sambil berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, harta-harta telah musnah dan mata pencarian terputus (karena hujan terus menerus), berdoalah agar Allah berkenan menghentikannya. Rasulullah saw. mengangkat tangannya dan berdoa: "Ya Allah, di sekitar kami dan jangan di atas kami. Ya Allah, di atas gunung-gunung dan bukit-bukit, di pusat-pusat lembah dan tempat tumbuh pepohonan". Hujan pun reda dan kami dapat keluar, berjalan di bawah sinar matahari. (Shahih Muslim No.1493)

Tawassul Dengan Nabi SAW Setelah Beliau Wafat

Para ulama bersepakat bahwa tawassul dengan Nabi SAW ketika beliau masih hidup adalah diperbolehkan. Namun mereka berbeda pendapat mengenai tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat. Mayoritas (jumhur) ulama membolehkannya, di antaranya adalah Malikiyah, Syafiiyah, Mutaakhirin Hanafiyah dan Mazhab Hambali, sedangkan sebagian Hanabilah tidak memperbolehkannya. Berikut ini rinciannya:

1. Pendapat Malikiyah

Al Qasthallani berkata: Telah diriwayatkan bahwa Imam Malik ketika ditanya oleh Abu Ja'far Manshur Al Abbasi, Khalifah kedua Bani Abbas, "Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), apakah saya harus menghadap Rasulullah lalu berdoa atau menghadap kiblat lalu berdoa?"

Imam Malik menjawab, "Mengapa kau memalingkan wajahmu darinya (Rasulullah) padahal ia adalah wasilah (perantara)mu dan wasilah bapakmu Adam AS kepada Allah pada hari Kiamat? Menghadaplah ke arahnya, lalu minta kepada Allah dengannya, Dia akan menjadikannya pemberi syafaat bagimu."

Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Al Hasan Ali bin Fihr dalam kitabnya, Fadhoil Malik (keutamaan-keutamaan Malik) dengan sanad yang tak ada masalah. Juga disebutkan oleh Al Qadhi Iyadh dalam kitabnya Asy-Syifa melalui jalurnya dari para pembesar masyayikhnya yang terpercaya.

2. Pendapat Syafiiyah

Imam Nawawi berkata mengenai adab ziarah kubur Nabi SAW, "Kemudian orang yang berkunjung itu menghadapkan wajahnya ke arah Nabi SAW lalu bertawassul dengannya dan memohon syafaat dengannya kepada Allah." (Al Majmu' 8/274)

Izzuddin bin Abdissalam berkata, "Sebaiknya hal ini hanya berlaku untuk Rasulullah SAW saja karena beliau adalah pemimpin Bani Adam (manusia)."

As Subki berkata, "Disunnahkan bertawassul dengan Nabi SAW dan meminta syafaat dengannya kepada Allah SWT."

Dalam I'anat at Thalibin disebutkan, "Aku telah datang kepadamu dengan beristighfar dari dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Tuhanku." (Lihat: Faidhul Qadir 2/134/135, I'anat at Thalibin 2/315, Muqaddimah At Tajrid Ash Sharih tahqiq Dr Musthofa Dib Al Bugho)

3. Pendapat Hanabilah

Ibnu Qudamah berkata dalam Al Mughni, "Disunnahkan bagi yang memasuki masjid untuk mendahulukan kaki kanan… kemudian anda masuk ke kubur lalu berkata… "Aku telah mendatangimu dengan beristighfar dari dosa-dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Allah."

Demikian pula dalam Asy Syarhul Kabir.

4. Pendapat Hanafiyah

Adapun Hanafiyah, para ulama Mutaakhirin mereka telah membolehkan bertawassul dengan Nabi SAW.

Al Kamal bin Al Humam berkata dalam Fathul Qadir tentang ziarah kubur Rasulullah SAW, "…kemudian dia berkata pada posisinya: Assalamu'alaika ya rasulallah (salam bagimu wahai Rasulullah)… dan memohon kepada Allah hajatnya dengan bertawassul kepada Allah dengan Hadrat NabiNya SAW."

Pengarang kitab Al Ikhtiyar menulis, "Kami datang dari negeri yang jauh… dan memohon syafaat denganmu kepada Rabb kami… kemudia berkata: dengan memohon syafaat dengan NabiMu kepadamu."

Hal yang senada juga disebutkan dalam kitab Maraqi Al Falah dan Ath Thahawi terhadap Ad Durrul Mukhtar dan Fatawa Hindiyah, "Kami telah datang mendengar firmanMu, menaati perintahMu, memohon syafaat dengan NabiMu kepadaMu."

5. Pendapat Imam Syaukani

Imam Syaukani berkata, "Dan bertawassul kepada Allah dengan para nabiNya dan orang-orang shalih." (Tuhfatu Adz Dzakirin karangan Syaukani 37)

6. Pendapat Ibnu Taimiah

Ibnu Taimiah berpendapat bahwa bertawassul dengan zat Nabi SAW tidak diperbolehkan, karena menurutnya tawassul dengan Nabi SAW mengandung 3 kemungkinan. Pertama, tawassul dengan iman dan islam, yaitu beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan menaatinya, ini hukumnya boleh. Kedua, tawassul dengan doa Nabi SAW, ini juga boleh sebagaimana Umar bin Khattab bertawassul dengan Nabi SAW dan paman Nabi, maksudnya yaitu dengan doa mereka berdua. Ketiga, tawassul dalam arti bersumpah dan meminta dengan zat Nabi SAW, ini yang tidak boleh.

Munaqasyah (Adu Argumentasi)

Dalam Shahih Bukhari Bab Istisqa' juz 1 hal. 432 hadis no. 963 disebutkan:

حدثنا عمرو بن علي قال حدثنا أبو قتيبة قال حدثنا عبد الرحمن بن عبد الله بن درينار عن أبيه قال
 : سمعت ابن عمر يتمثل بشعر أبي طالب
 وأبيض يستسقى الغمام بوجهه * ثمال اليتامى عصمة للأرامل
 وقال عمر بن حمزة حدثنا سالم عن أبيه ربما ذكرت قول الشاعر وأنا أنظر إلى وجه النبي صلى الله عليه و سلم يستسقي فما ينزل حتى يجيش كل ميزاب
 وأبيض يستسقى الغمام بوجهه * ثمال اليتامى عصمة للأرامل
 وهو قول أبي طالب

Abdullah bin Dinar berkata, "Saya mendengar Ibnu Umar mempresentasikan syair Abu Thalib, 'Semoga awan putih disiramkan dengan pertolongan wajahnya. Untuk menolong anak-anak yatim dan melindungi janda janda.'"

Dari sanad yang mu'allaq dari Ibnu Umar, ia berkata, "Sering saya mengingat perkataan seorang penyair sambil saya melihat wajah Rasulullah memohon hujan, dan beliau tidak turun sehingga tiap-tiap saluran (selokan) mengalir, 'Semoga awan putih disiramkan (dijadikan hujan dengan pertolongan) wajahnya, untuk menolong anak-anak yatim dan melindungi para janda.' Syair itu adalah perkataan Abu Thalib."

Dari hadis di atas, jelas bahwa dahulu sebagian sahabat berdoa kepada Allah sambil membayangkan wajah Rasulullah SAW dengan harapan agar doanya dikabulkan. Ini adalah salah satu bentuk tawassul, yaitu dengan menjadikan bayangan wajah Rasulullah SAW sebagai perantara (wasilah) dikabulkannya doa.

Dalam Shahih Bukhari Bab Istisqa' juz 1 hal. 342 hadis no. 946 juga disebutkan:

حدثنا الحسن بن محمد قال حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري قال حدثني أبي عبد الله بن المثنى عن ثمامة بن عبد الله بن أنس عن أنس : أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه كان إذا قحطوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب . فقال اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال فيسقون

Anas bin Malik mengatakan bahwa Umar bin Al Khatthab apabila terjadi kemarau panjang, dia selalu memohon hujan dengan wasilah (perantaraan) Abbas bin Abdul Muthalib, lalu Umar berkata, "Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu selalu bertawassul dengan Nabi kami, kemudian Engkau turunkan hujan. Sesungguhnya kami sekarang bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan." Anas berkata, "Lalu mereka diberi hujan."

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari berkomentar:

ليس في قول عمر أنهم كانوا يتوسلون به دلالة على أنهم سألوه أن يستسقى لهم إذ يحتمل أن يكونوا في الحالين طلبوا السقيا من الله مستشفعين به صلى الله عليه و سلم وقال بن رشيد يحتمل أن يكون أراد بالترجمة الاستدلال بطريق الأولى لأنهم إذا كانوا يسألون الله به فيسقيهم فأحرى أن يقدموه للسؤال انتهى

"Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul (mengambil perantara) dengan Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi untuk berdoa memohon hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya mereka melakukan kedua-duanya, yaitu memohon hujan kepada Allah sambil menjadikan Nabi SAW sebagai perantara. Ibnu Rusyaid berkata, "Mungkin yang dimaksud oleh penulis (Imam Bukhari) dalam menulis judulnya adalah beliau ingin berargumen dengan metode Al-Awla. Artinya, jika mereka dahulu meminta kepada Allah dengan perantara beliau, maka lebih layak lagi jika mereka mendahulukan beliau untuk permintaan." (Fathul Bari 2/495)

Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa dahulu Umar bin Khattab bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, dengan harapan agar doanya mudah dikabulkan. Beliau menyebutkan nama Rasulullah kemudian Abbas dalam doanya. Ini juga merupakan salah satu bentuk tawassul, yaitu menyertakan nama orang shalih dalam doa.

Dalam hadis riwayat Anas disebutkan doa Nabi SAW untuk Fathimah binti Asad:

اغفر لأمى فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلى فإنك أرحم الراحمين

"Ampunilah dosa ibuku, Fathimah binti Asad, bimbinglah dia mengucapkan hujjahnya, luaskankah tempat masuknya, dengan perantara hak NabiMu dan para Nabi yang sebelumku, sesungguhnya Engkau Yang Paling Pemurah." (HR. Thabrani dan Abu Nuaim, di dalamnya terdapat perawi bernama Rauh bin Shalah, ditsiqohkan oleh Ibnu Hibban, selebihnya perawinya adalah perawi shahih)

Dalam Sunan Ibnu Majah juz 1 hal. 256 hadis no. 778 disebutkan:

حدثنا محمد بن سعيد بن يزيد بن إبراهيم التستري . حدثنا الفضل بن الموفق أبو الجهم . حدثنا فضيل بن مرزوق عن أبو سعيد الخدري قال  : - قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( من خرج من بيته إلى الصلاة فقال اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وأسألك بحق ممشاي هذا . فإني لم أخرج أشرا ولا بطرا ولا رياء ولا سمعة . وخرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك . فأسألك أن تعيذني من النار وأن تغفر لي ذنوبي . إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت - أقبل الله عليه بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك )
في الزائد هذا إسناده مسلسل بالضعفاء . عطية وهو العوفي وفضيل بن مرزوق والفضل بن الموفق كلهم ضعفاء . لكن رواه ابن خزيمة في صحيحه من طريق فضيل بن مرزوق فهو صحيح عنده

Artinya:
"Abu Said Al Khudri berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa keluar dari rumahnya menuju salat lalu berdoa: Ya Allah sesungguhnya aku memintamu dengan perantara orang-orang yang meminta dan dengan perantara hewan-hewan ternak ini…dst."

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad juz 3 hal. 21 hadis no. 11172:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يزيد أنا فضيل بن مرزوق عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري فقلت لفضيل رفعه قال أحسبه قد رفعه قال : من قال حين يخرج إلى الصلاة اللهم اني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي فإني لم أخرج أشرا ولا بطرا ولا رياء ولا سمعة خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك أسألك ان تنقذني من النار وان تغفر لي ذنوبي انه لا يغفر الذنوب الا أنت وكل الله به سبعين ألف ملك يستغفرون له وأقبل الله عليه بوجهه حتى يفرغ من صلاته

Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa salah seorang sahabat mulia, yaitu Abu Said Al Khudri bertawassul dengan manusia dan hewan-hewan ternak sebagai perantara dikabulkannya doa.

Dalam hadis riwayat Utsman bin Hunaif juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengajari salah seorang sahabat yang buta untuk membaca doa berikut ini:

اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيي محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى الله أن يقضي حاجتي أو حاجتي إلى فلان أو حاجتي في كذا وكذا اللهم شفع في نبيي وشفعني في نفسي

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan aku menghadapkan wajahku kepadaMu dengan Nabiku Muhammad, Nabiyur Rahmah. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Allah denganmu, supaya mengabulkan hajatku atau hajatku kepada Fulan atau hajatku dalam urusan ini dan itu…dst."

Hadis di atas diriwayatkan oleh:

1.       Imam Bukhari dalam Tarikh Kabirnya secara ringkas.
2.       Imam Tirmidzi dalam Jaminya lalu beliau berkomentar, "Ini adalah hadis shahih gharib yang tidak kami ketahui kecuali melalui jalur ini". Syaikh Albani juga menshahihkannya.
3.       Ibnu Majah dalam Bab Shalat Hajat dari Sunnah-Sunnahnya dan dishahihkan oleh Abu Ishaq. Syaikh Albani juga menshahihkannya.
4.       Imam Nasai dalam kitabnya, Amalul Yaumi wal Lailah.
5.       Imam Abu Nuaim dalam kitabnya, Ma'rifatus Shahabah.
6.       Imam Baihaqi dalam kitabnya, Dalailun Nubuwwah.
7.       dll.

Hadis ini dishahihkan oleh sejumlah huffazh yang setidaknya jumlah mereka mencapai 15 orang, sebagaimana disebutkan oleh Imam Muhammad Zahid Al Kautsari dalam kitabnya Muhiqqu At Taqawwul. Mereka adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thabrani, Abu Nuaim, Al Baihaqi, Al Mundziri, dll. Bagi yang ingin meneliti sanad hadis ini silahkan baca buku yang saya tunjukkan tersebut.

Dalam hadis di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah mengajarkan doa yang berisi tawassul kepada beliau. Mengkhususkan doa tersebut untuk sebelum Rasulullah SAW meninggal merupakan pengkhususan tanpa dalil.

Dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal 216, Imam Suyuthi menukil hadis dari Abu Nuaim Al Asbahani dalam kitabnya, Dalailun Nubuwwah:

وأخرج أبو نعيم في الدلائل من طريق عطاء والضحاك عن ابن عباس قال : كانت يهود بني قريظة والنضير من قبل أن يبعث محمد صلى الله عليه و سلم يستفتحون الله يدعون على الذين كفروا ويقولون : اللهم إنا نستنصرك بحق النبي الأمي إلا نصرتنا عليهم فينصرون فلما جاءهم ما عرفوا يريد محمدا ولم يشكوا فيه كفروا به

Ibnu Abbas berkata: Dahulu Yahudi Bani Quraizhah dan Nadhir sebelum diutusnya Muhammad SAW, mereka berdoa kepada Allah memohon kemenangan terhadap orang-orang kafir sambil mengatakan, "Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan-Mu dengan (perantara) kemuliaan Nabi yang Ummi, menangkanlah kami terhadap mereka." Lalu mereka pun menang. Namun ketika orang yang mereka ketahui itu, yakni Muhammad, telah datang, mereka ingkar…"

Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa tawassul sudah ada sejak sebelum diutusnya Rasulullah SAW. Hadis di atas juga menjadi dalil diperbolehkannya bertawassul dengan para nabi.

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal 216, Imam Suyuthi menukil hadis lain dari penulis yang sama dan kitab yang sama:

وأخرج أبو نعيم في الدلائل من طريق الكلبي عن أبي صالح عن ابن عباس قال : كان يهود أهل المدينة قبل قدوم النبي صلى الله عليه و سلم إذا قاتلوا من يليهم من مشركي العرب من أسد وغطفان وجهينة وعذرة يستفتحون عليهم ويستنصرون يدعون عليهم باسم نبي الله فيقولون : اللهم ربنا انصرنا عليهم باسم نبيك وبكتابك الذي تنزل عليه الذي وعدتنا إنك باعثه في آخر الزمان

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Mustadrak Al Hakim juz 2 hal 298 hadis no. 3042:

أخبرني الشيخ أبو بكر بن إسحاق أنبأ محمد بن أيوب ثنا يوسف بن موسى ثنا عبد الملك بن هارون بن عنترة عن أبيه عن جده عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : كانت يهود خيبر تقاتل غطفان فكلما التقوا هزمت يهود خيبر فعاذت اليهود بهذا الدعاء : اللهم إنا نسألك بحق محمد النبي الأمي الذي وعدتنا أن تخرجه لنا في آخر الزمان ألا نصرتنا عليهم قال : فكانوا إذا التقوا دعوا بهذا الدعاء فهزموا غطفان فلما بعث النبي صلى الله عليه و سلم كفروا به فأنزل الله و قد كانوا يستفتحون بك يا محمد على الكافرين [ ] أدت الضرورة إلى إخراجه في التفسير و هو غريب من حديثه
تعليق الذهبي قي التلخيص : لا ضرورة في ذلك أي لإخراجه فعبدالله متروك هالك

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Dalailun Nubuwwah Imam Baihaqi juz 1 hal 461 hadis no. 411:

أخبرنا محمد بن عبد الله الحافظ قال : أخبرني أبو بكر بن إسحاق قال : أخبرنا محمد بن أيوب قال : أخبرنا يوسف بن موسى قال : أخبرنا عبد الملك بن هارون بن عنترة ، عن أبيه ، عن جده ، عن سعيد بن جبير ، عن ابن عباس قال : « كانت يهود خيبر تقاتل غطفان ، فكلما التقوا هزمت يهود خيبر ، فعاذت اليهود ، بهذا الدعاء ، فقالت : اللهم إنا نسألك بحق محمد النبي الأمي الذي وعدتنا أن تخرجه لنا في آخر الزمان إلا نصرتنا عليهم . قال : فكانوا إذا التقوا دعوا بهذا الدعاء ، فهزموا غطفان . فلما بعث النبي صلى الله عليه وسلم كفروا به ، فأنزل الله تبارك وتعالى : وكانوا من قبل يستفتحون (1) يعني بك يا محمد على الذين كفروا إلى قوله : فلعنة الله على الكافرين » وروي معناه أيضا ، عن عطية ، عن ابن عباس

Dalam kitab Dalailun Nubuwwah Imam Baihaqi juz 8 hal. 91 hadis no. 2974 disebutkan:

أخبرنا أبو نصر بن قتادة ، وأبو بكر الفارسي قالا : أخبرنا أبو عمرو بن مطر ، أخبرنا أبو بكر بن علي الذهلي ، أخبرنا يحيى ، أخبرنا أبو معاوية ، عن الأعمش ، عن أبي صالح ، عن مالك قال : أصاب الناس قحط في زمان عمر بن الخطاب ؛ فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، استسق الله لأمتك فإنهم قد هلكوا ؛ فأتاه رسول الله صلى الله عليه وسلم في المنام ؛ فقال ائت عمر فأقرئه السلام ، وأخبره أنكم مسقون . وقل له : عليك الكيس الكيس . فأتى الرجل عمر ، فأخبره ، فبكى عمر ثم قال : يا رب ما آلو إلا ما عجزت عنه

Malik Ad Dar berkata: Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu datanglan seorang lelaki ke kubur Nabi SAW lalu berdoa: "Wahai Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah binasa." Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya. Beliau bersabda, "Datanglah kepada Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa kalian akan diberi hujan. Katakan juga: hendaknya kalian..dst." lalu lelaki itu mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Umar pun menangis kemudian berkata, "Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya."

Al Hafizh Ibnu Katsir menshahihkan hadis ini dalam kitabnya, Al Bidayah wan Nihayah juz 7 hal. 105, beliau berkata:
وهذا إسناد صحيح.
"Sanad hadis ini shahih."

Hadis yang sama juga diriwayatkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah juz 6 hal. 236 hadis no. 32002:

حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن أبي صالح عن مالك الدار قال وكان خازن عمر على الطعام قال أصاب الناس قحط في زمن عمر فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا فأتي الرجل في المنام فقيل له إئت عمر فأقرئه السلام وأخبره أنكم مسقيون وقل له عليك الكيس عليك الكيس فأتى عمر فأخبره فبكى عمر ثم قال يا رب لا آلو إلا ما عجزت عنه

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani juga menshahihkan hadis ini dalam Fathul Bari juz 2 hal. 495, beliau berkata:

وروى بن أبي شيبة بإسناد صحيح من رواية أبي صالح السمان عن مالك الداري وكان خازن عمر قال أصاب الناس قحط في زمن عمر فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله استسق لامتك فإنهم قد هلكوا فأتى الرجل في المنام فقيل له ائت عمر الحديث

"Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Dar…dst."

Hadis ini juga disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, Tarikh Kabir, secara ringkas.

Tawassul Salafus Shalih

Sebagian orang mengira bahwa tawassul tidak pernah dicontohkan oleh para salafus shalih. Berikut ini beberapa nukilan tentang tawassul salafus shalih.

Imam Syafii Bertabarruk di kuburan Imam Abu Hanifah

Dalam kitab Tarikh Baghdad karangan Al Khathib Al Baghdadi yang sangat populer itu, disebutkan dengan sanad shahih bahwa Imam Syafii sering datang ke kuburan Imam Abu Hanifah untuk mengambil berkahnya (tabarruk). Berikut ini teksnya:

وبالجانب الشرقي مقبرة الخيزران فيها قبر محمد بن إسحاق بن يسار صاحب السيرة وقبر أبي حنيفة النعمان بن ثابت إمام أصحاب الرأي أخبرنا القاضي أبو عبد الله الحسين بن علي بن محمد الصيمري قال أنبأنا عمر بن إبراهيم المقرئ قال نبأنا مكرم بن أحمد قال نبأنا عمر بن إسحاق بن إبراهيم قال نبأنا علي بن ميمون قال سمعت الشافعي يقول اني لأتبرك بأبي حنيفة وأجيء إلى قبره في كل يوم يعني زائرا فإذا عرضت لي حاجة صليت ركعتين وجئت إلى قبره وسألت الله تعالى الحاجة عنده فما تبعد عني حتى تقضى

"Di sebelah timur terdapat kuburan Al Khaizuran,  di dalamnya terdapat kuburan Muhammad bin Ishaq penulis Sirah, dan kuburan Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit, Imamnya ahli ra'yi… Ali bin Maimun berkata: Saya pernah mendengar Asy Syafii berkata: Sungguh aku benar-benar mengambil berkah (tabarruk) dengan Abu Hanifah, aku datang ke kuburannya setiap hari, yakni sebagai peziarah, jika aku memiliki keinginan (hajat) aku shalat dua rakaat lalu mendatangi kuburannya dan memohon kepada Allah di situ. Tak lama kemudian biasanya dipenuhi hajatku." (Tarikh Baghdad 1/123)

Dalam kitab yang sama juga disebutkan:

باب: ما ذكر في مقابر بغداد المخصوصة بالعلماء والزهاد بالجانب الغربي في أعلا المدينة مقابر قريش دفن بها موسى بن جعفر بن محمد بن علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب وجماعة من الأفاضل معه أخبرنا القاضي أبو محمد الحسن بن الحسين بن محمد بن رامين الإستراباذي قال أنبأنا أحمد بن جعفر بن حمدان القطيعي قال سمعت الحسن بن إبراهيم أبا علي الخلال يقول ما همني أمر فقصدت قبر موسى بن جعفر فتوسلت به الا سهل الله تعالى لي ما أحب

Bab: Berita tentang kuburan-kuburan Baghdad yang dikhususkan untuk para ulama dan ahli zuhud di sebelah Barat. Di puncak kota terdapat kuburan-kuburan Quraisy. Di dalamnya dimakamkan Musa bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib dan sejumlah tokoh-tokoh pembesar bersamanya… Ahmad bin Ja'far bin Hamdan Al Qathi'I berkata: Aku pernah mendengar Al Hasan bin Ibrahim Abu Ali Al Khilal berkata: Tak pernah aku ditimpa kesusahan kemudian aku mendatangi kuburan Musa bin Ja'far lalu aku bertawassul dengannya kecuali Allah memudahkan apa yang aku inginkan." (Tarikh Baghdad 1/120)

Dalam Manasik Imam Ahmad riwayat Abu Bakr Al Maruzi juga disebutkan tawassul dengan Nabi SAW. Redaksi tawassul itu disebutkan oleh Abul Wafa' bin Aqil, salah seorang pembesar ulama mazhab Hambali secara panjang lebar dalam kitab Tadzkirohnya. Al Hafizh Abdul Ghaniy Al Maqdisi juga pernah mengusap kuburan Imam Ahmad demi memperoleh kesembuhannya. Dan masih banyak lagi bukti-bukti sejarah bahwa tawassul dengan orang mati sudah dipraktekkan oleh kaum muslimin sejak dahulu kala tanpa ada pengingkaran dari seorangpun. Apakah kita berani memvonis mereka semua kafir, syirik, penyembah berhala dan kubur?

Syubhat dan Jawabannya

Berikut ini syubhat-syubhat seputar tawassul beserta jawabannya.

Syubhat pertama: Tawassul dengan orang mati tidak boleh

Sebagian orang menuduh orang yang melakukan tawassul dengan orang mati sebagai penyembah berhala, musyrik, dan lain-lain. Mereka membedakan antara tawassul dengan orang yang masih hidup dengan yang sudah mati. Mereka lalu menakwilkan hadis-hadis yang secara jelas, tegas dan lugas menyebutkan bolehnya bertawassul dengan orang yang sudah mati. Sebenarnya mereka tak memiliki sandaran yang kuat kecuali hadis Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan di atas. Namun mereka menafsirkannya dengan penafsiran yang kurang tepat dan menakwilkan teks tersebut dengan penakwilan yang tidak pada tempatnya.

Di antara penafsiran tersebut adalah, menganggap bahwa Umar bin Khattab bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, disebabkan Nabi telah meninggal dunia. Ini adalah penafsiran batil sebagaimana akan kita jelaskan nanti. Adapun penakwilan mereka adalah, menakwilkan perkataan Umar, "Dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami" dan "Sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami", mereka menyisipkan tambahan kata yang tidak semestinya disisipkan, yaitu kata "doa" sehingga bunyi perkataan Umar menjadi, "Dahulu kami bertawassul dengan (doa) Nabi SAW" dan "Sekarang kami bertawassul dengan (doa) paman Nabi". Jadi, mereka menganggap bahwa Umar bertawassul dengan doa Nabi dan doa Abbas, bukan dengan zat mereka berdua.

Adapun penafsiran mereka bahwa Umar bertawassul dengan Abbas dikarenakan Nabi telah meninggal dunia, ini merupakan penafsiran yag tak berdasarkan dalil, karena kata "kunna" (dahulu kami selalu) bermakna "istimrar" (berkelanjutan), artinya dahulu mereka selalu bertawassul dengan Nabi, baik sebelum meninggal maupun setelah meniggal. Kemudian baru ketika datang musim paceklik (Tahun Ramadah), mereka memanggil paman Nabi untuk bertawassul dengan beliau, karena peristiwa tersebut terjadi pada Tahun Ramadah. Mengkhususkan makna "dahulu kami selalu" dengan "dahulu (sebelum mati) kami selalu" merupakan pengkhususan tanpa dalil. Jadi, tidak ada penunjukkan sama sekali bahwa tawassul yang dilakukan oleh para sahabat hanya ketika Nabi belum meninggal saja.

Hadis ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan orang yang lebih rendah kedudukannya (paman Nabi) di samping orang yang lebih tinggi kedudukannya (Nabi SAW). Namun kendatipun demikian, Umar tetap menyebutkan nama Rasulullah SAW dalam doanya, baru kemudian menyebutkan nama paman Nabi setelah itu. Itulah maksud perkataan Ibnu Rusyaid, "Jika mereka dahulu meminta kepada Allah dengan perantara beliau, maka lebih layak lagi jika mereka mendahulukan beliau untuk permintaan."

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Umar adalah disebabkan oleh kedudukan Abbas di sisi Nabi, yaitu kedekatan hubungan kekerabatannya dengan Nabi, sehingga bertawassul dengannya sama dengan bertawassul dengan Nabi sendiri.

Adapun penakwilan bahwa yang dimaksud tawassul dengan Nabi dan Abbas di situ adalah tawassul dengan doa mereka, ini adalah penakwilan batil. Karena tawassul tidak selalu bermakna memohon doa. Memang adakalanya seseorang memohon doa kepada orang lain untuk dirinya, tapi ini bukan satu-satunya makna tawassul sebenarnya. Oleh karena itu, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani ketika mengomentari hadis di atas beliau berkata, "Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul dengan Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi untuk berdoa memohon hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya mereka melakukan kedua-duanya, yaitu memohon hujan kepada Allah sambil menjadikan Nabi SAW sebagai perantara."

Artinya, tawassul yang dilakukan oleh Umar adalah tawassul dengan zat Nabi dan zat paman Nabi, bukan dengan doa mereka. Mengkhususkan makna tawassul hanya dengan doa merupakan pengkhususan tanpa dalil.

Syubhat kedua: Tambahan ziarah ke kuburan Nabi dalam hadis Malik Ad Dar munkar karena tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya.

Jawabnya, memang tambahan itu tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya, namun bukan berarti tambahan itu tidak ada. Imam Bukhari sering meringkas hadis-hadis yang diriwayatkannya, bahkan dalam kitab Shahihnya beliau sering meringkas riwayat yang panjang, lalu menyebutkan selengkapnya di tempat lain. Sedangkan tambahan itu sudah disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir. Jadi, tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar, pasti para hafizh sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada kita.

Syubhat ketiga: Malik Ad Dar adalah majhul karena didiamkan oleh Imam Bukhari dan Abu Hatim Ar Razi.

Jawabnya, tidak semua perawi yang didiamkan oleh kedua imam itu disebut majhul. Bahkan biografi perawi bernama Malik Ad Dar itu disebutkan dalam Thabaqat Ibnu Saad dan Ishabah Ibnu Hajar. Jika memang majhul, tidak mungkin Dua Hafizh itu berani menshahihkan sanadnya.

Syubhat keempat: Bertawassul dengan orang mati merupakan perbuatan orang musyrik sebagaimana disebutkan dalam QS Az Zumar: 3.

Jawabnya, mari kita baca tafsir ayat itu dengan cermat. Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, "Sesungguhnya yang telah menggiring mereka (musyrikin) ke arah penyembahan berhala itu adalah karena mereka menjadikan berhala-berhala yang diukir serupa malaikat –menurut keyakinan mereka, sebagai sesembahan, mereka menyembah berhala-berhala itu sebagai bentuk penyembahan terhadap malaikat agar para malaikat itu dapat menolong mereka di sisi Allah nanti."

Pernyataan Ibnu Katsir di atas jelas menunjukkan bahwa sejak awal orang musyrik memang tidak menyembah Allah saja, melainkan juga menyembah malaikat yang diukir menjadi berhala-berhala itu. Inilah yang dinamakan syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan sesembahan lain. Berbeda dengan tawassul, orang yang bertawassul memohon kepada Allah dengan menjadikan benda lain sebagai perantara. Oleh karena itu, Umar mengawali doanya dengan kata, "Ya Allah."

Lalu apakah masalah tawassul ini sampai pada level takfir?

Mari kita simak nasihat Ibnu Taimiah. Setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini beliau berkata:

وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ : إنَّ مَنْ قَالَ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ فَقَدْ كَفَرَ وَلَا وَجْهَ لِتَكْفِيرِهِ فَإِنَّ هَذِهِ مَسْأَلَةٌ خَفِيَّةٌ لَيْسَتْ أَدِلَّتُهَا جَلِيَّةً ظَاهِرَةً وَالْكُفْرُ إنَّمَا يَكُونُ بِإِنْكَارِ مَا عُلِمَ مِنْ الدِّينِ ضَرُورَةً أَوْ بِإِنْكَارِ الْأَحْكَامِ الْمُتَوَاتِرَةِ وَالْمُجْمَعِ عَلَيْهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ . وَاخْتِلَافُ النَّاسِ فِيمَا يُشْرَعُ مِنْ الدُّعَاءِ وَمَا لَا يُشْرَعُ كَاخْتِلَافِهِمْ هَلْ تُشْرَعُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ عِنْدَ الذَّبْحِ ؛ وَلَيْسَ هُوَ مِنْ مَسَائِلِ السَّبِّ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ . وَأَمَّا مَنْ قَالَ : إنَّ مَنْ نَفَى التَّوَسُّلَ الَّذِي سَمَّاهُ اسْتِغَاثَةً بِغَيْرِهِ كَفَرَ وَتَكْفِيرُ مَنْ قَالَ بِقَوْلِ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ وَأَمْثَالِهِ فَأَظْهَرُ مِنْ أَنْ يَحْتَاجَ إلَى جَوَابٍ ؛ بَلْ الْمُكَفِّرُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ يَسْتَحِقُّ مِنْ غَلِيظِ الْعُقُوبَةِ وَالتَّعْزِيرِ مَا يَسْتَحِقُّهُ أَمْثَالُهُ مِنْ الْمُفْتَرِينَ عَلَى الدِّينِ لَا سِيَّمَا مَعَ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { مَنْ قَالَ لِأَخِيهِ : كَافِرٌ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا }

"Tak seorang pun yang mengatakan bahwa barangsiapa mengambil pendapat pertama ia telah kafir, tak ada alasan untuk mengkafirkannya, karena masalah ini adalah masalah khilafiyah, dalil-dalilnya tidak jelas dan terang. Kekufuran hanyalah bagi orang yang mengingkari perkara-perkara yang sudah maklum (diketahui) merupakan bagian dari agama secara pasti atau mengingkari hukum yang sudah mutawatir dan disepakati (ijma') atau semisal itu." (Majmu' Fatawa 1/106)

Dari pernyataan Ibnu Taimiah di atas, jelaslah bahwa tindakan sebagian orang jahil yang mengkafirkan sesama muslim karena permasalahan semacam ini tidaklah dapat dibenarkan. Hal itu tak lain disebabkan oleh ketidakmampuan dirinya dalam mendatangkan argumentasi ilmiah yang mampu bertahan di panggung dialog dan diskusi. Akhirnya, mereka menggunakan senjata ampuh untuk melumpuhkan lawan diskusinya yaitu dengan menjatuhkan vonis kafir, stempel bid'ah, cap musyrik dan sebagainya.

Penutup

Demikianlah ringkasan penjelasan mengenai masalah tawassul. Bagi yang ingin memperdalam dan menelaah lebih lanjut mengenai masalah ini silahkan baca kitab Muhiqqu At Taqawwul fi Masalati At Tawassul karangan Syaikh Imam Muhammad Zahid Al Kautsari (semoga Allah merahmati beliau). Kitab ini sudah dicetak, disebarluaskan dan dijual secara bebas di toko-toko buku di Timur Tengah. Penulisnya adalah salah seorang ulama yang hidup di zaman Kekhalifahan Turki Utsmani, seorang ahli hadis, fikih, ushul dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Anda juga bisa mendapatkan keterangan mengenai masalah ini dalam kitab Mausu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqh Kuwait). Wallahu a'lamu bis showab.

Damaskus, 28 September 2010

2 Responses to "Kupas Tuntas Masalah Tawassul"

  1. syukran atas keterangan antum atas tawashul. jazakallahu khaira jazaa

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel